Cukai Rokok sampai Pajak Penghasilan Naik Tahun 2022

TERASKATA.Com, Jakarta – Tahun 2022 mendatang, merupakan tahun terakhir defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) diperbolehkan melebihi 3 persen. Menaikkan harga cukai rokok, pajak pertambahan nilai hingga pajak penghasilan menjadi solusi alternatif pemerintah.

Pada tahun 2023, defisit fiskal mesti kembali pada level 3 persen. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia (RI) menargetkan penerimaan lebih tinggi pada tahun 2022. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggenjot pertumbuhan penerimaan perpajakan.

Hingga saat ini, setidaknya ada 3 tarif pajak yang akan dinaikkan tahun 2022. Ketiganya adalah tarif cukai rokok, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).

Tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) naik dengan rata-rata kenaikan sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2022. Kenaikan tarif cukai tahun depan, tak setinggi kenaikan pada tahun sebelumnya, yakni 12,5 persen. Efek dari kenaikan tarif cukai rokok adalah harga jual eceran (HJE) rokok ikut naik.

Kenaikan cukai rokok, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akan berkontribusi menurunkan produksi rokok sebesar 3 persen dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang.

Bukan hanya itu, indeks kemahalan rokok naik menjadi 13,77 persen dari 12,7 persen, dengan target penerimaan APBN dari cukai rokok mencapai Rp 193,5 triliun. Kenaikan cukai pun sejalan dengan target penurunan prevalensi perokok anak/remaja usia 10-18 tahun menjadi 8,83 persen dari target 8,7 persen dalam RPJMN tahun 2024.

“Ini adalah cukai baru yang akan berlaku mulai bulan Januari. Pak Presiden minta kepada kita segera selesaikan supaya kita tetap bisa menjalankan per 1 Januari,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers baru-baru ini.

Selain cukai rokok, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turut naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Kenaikan ini mulai berlaku di bulan April 2022. Kemudian, tarif PPN akan kembali naik sebesar 12 persen pada tahun 2025. Kenaikan tarif ini bakal mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Skema tarif PPN adalah single tarif (tarif tunggal), bukan multi tarif. Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final, misalnya 1 persen, 2 persen, atau 3 persen, dari peredaran usaha.

Kendati naik, pemerintah tidak akan mengambil PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan masyarakat pada umumnya. Barang-barang yang tak dikenakan tarif PPN yakni barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Dengan demikian, beberapa jenis beras juga tak akan dikenakan PPN.

Sedangkan untuk pajak penghasilan, pemerintah menambah satu lapisan (bracket) tarif pajak penghasilan (PPh) teratas, dari yang semula 4 lapisan menjadi 5 lapisan. Pada lapisan kelima, besaran tarif PPh mencapai 35 persen untuk masyarakat berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun.

Perubahan bracket ini lantas membuat para orang kaya dengan penghasilan diatas Rp5 miliar per tahun membayar pajak lebih tinggi, yakni 35 persen. Adapun sebelumnya, orang tajir cukup membayar 30 persen.

Secara lebih rinci, batas pendapatan kena pajak (PKP) orang pribadi (OP) lapisan pertama ditingkatkan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta dengan tarif PPh sebesar 5 persen.
Kenaikan bracket pada lapisan pertama turut mengubah bracket kedua, yakni menjadi Rp60 juta – Rp250 juta. Tarif PPh untuk bracket kedua adalah 15 persen. Sementara bracket ketiga tidak berubah, yakni tetap Rp 250 juta – Rp 500 juta dengan tarif 25 persen.

Selanjutnya penghasilan di atas Rp500 juta – Rp5 miliar kena tarif 30 persen. Tarif baru yang tercantum dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2022. (*/yud)

Komentar