PENTING : Kenali Bencana Hidrometeorologi yang Jadi Status Waspada
TERASKATA.COM – BMKG mengeluarkan status waspada di sejumlah daerah di Indonesia terkait dengan bencana hidrometeorologi. Terkait itu, patut diketahui dengan bencana ini.
Bencana Hidrometeorologi, sebuah istilah yang dalam satu dekade terakhir marak dibahas. Bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter (curah hujan, kelembaban, temperatur, angin) meteorologi.
Kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, el nino, la nina, longsor, tornado, angin puyuh, topan, angin puting beliung, gelombang dingin, gelombang panas, angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana Hidrometeorologi. Bencana tersebut dimasukan kedalam bencana meteorologi karena bencana diatas disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.
Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir.
Meningkatnya bencana hidrometeorologi merupakan konsekwensi dari meningkatnya kerentanan.
Banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat berpengaruh.
Frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.
Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman.
Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini merupakan akumulasi dan memunculkan lahan kritis yang tersebar di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Berbagai kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan fungsi kawasan, daya dukung dan daya tampung dalam DAS telah “sukses” menambah laju jumlah DAS kritis di Indonesia. Baca “Arisan bencana tahunan di Indonesia, Akankah berakhir?”
Bertambahnya jumlah DAS kritis telah terbukti secara linier dengan bertambahnya jumlah kejadian bencana hidrometeorologi. Penyerobotan kawasan hutan lindung di daerah hulu DAS menjadi kawasan pertanian intensif seperti yang terjadi di daerah hulu DAS Serayu di banjarnegara telah merubah wajah kawasan dataran tinggi Dieng menjadi tak bervegetasi, akibatnya, kejadian-kejadian bencana rajin menghampiri setiap tahunnya.
Kerusakan hutan di Indonesia dimulai sejak awal 1970-an, ketika pemerintah pada waktu itu membagi-bagi kawasan hutan produksi di Indonesia kepada para pemegang konsesi untuk dipanen kayunya.
Lebih dari 600 perusahaan pemegang konsesi hutan produksi (HPH) memanen kayu-kayu di hutan alam Indonesia hingga sektor kehutanan pada waktu itu menduduki peringkat kedua penghasil devisa negara terbesar setelah minyak bumi. Akibat praktek pemanenan tanpa pemulihan hutan yang benar, maka luasan hutan yang terdegradasi semakin bertambah.
Banyak peran hutan dalam pengendalian daur air yang harus dapat direstorasikan kembali jika ingin dapat berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana hidrometeorologi. Dan yang terpenting, seluruh pihak harus dapat berperan dan berkontribusi dalam pemulihan lingkungan dan hutan untuk mewarisi generasi penerus lingkungan yang lebih baik. (ams)
Artikel ini telah terbit di laman konservasidas.fkt.ugm.ac.id yang ditulis Hatma Suryatmojo
Tinggalkan Balasan