APT Pranoto, Gubernur Kaltim Pertama yang Dirikan Balai Wartawan di Samarinda
Persaingan kekuasaan
Kedudukan Pranoto sebagai Gubernur sangat menguntungkan golongan bangsawan Kutai. Dia mengangkat Aji Raden Padmo, sesama bangsawan dan anggota PIR, sebagai Bupati Kabupaten Kutai yang pertama pada tanggal 20 Januari 1960.
Pada hari yang sama, Pranoto juga mengangkat beberapa kepala daerah yang hampir semua berasal dari kalangan bangsawan, seperti Aji Raden Sayid Mohammad sebagai Wali Kota Balikpapan, Aji Raden Muhammad Ayub sebagai Bupati Berau, dan Andi Tjatjo gelar Datuk Wihardja sebagai Bupati Bulungan.
Hanya Kapten Soedjono A.J. selaku Wali Kota Samarinda yang bukan berasal dari golongan bangsawan. Setelah pembubaran PIR-Hazairin pada masa Demokrasi Terpimpin, Pranoto bergabung dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama). Selain itu, selaku Gubernur, Pranoto juga menjabat sebagai pengurus daerah Front Nasional Kalimantan Timur pada tahun 1961.
Menguatnya kedudukan bangsawan tidak disukai oleh golongan pejuang yang antifeodal dan terpusat di Balikpapan dan Samarinda. Mereka terlibat dalam persaingan politik dengan para bangsawan.
Sebagian besar dari para pejuang di Samarinda tergabung dalam PNI, sedang di Balikpapan didominasi oleh Murba. Untuk menandingi Pranoto, PNI menunjuk Inche Abdul Muis, yang juga seorang anggota partai, sebagai Kepala Daerah Kalimantan Timur.
Penunjukkan ini dipermudah dengan dominasi PNI di parlemen provinsi. PNI menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan Gubernur bekerja sama dengan seorang Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan, sebagai dasar hukum untuk penunjukkan ini.
Pemenjaraan dan kematian
Kolonel Soehario Padmodiwirio, Pangdam IX/Mulawarman yang menentang Pranoto.
Selain golongan pejuang, Pranoto juga tidak disukai oleh pihak militer, terutama Pangdam IX/Mulawarman, Kolonel Soehario Padmodiwirio yang antifeodal dan dekat dengan golongan kiri.
Jenderal Abdul Haris Nasution juga memandang negatif Pranoto, menganggapnya “menyeleweng” sejak dia hendak mengangkat Pangdam sebelumnya, Kolonel Hartojo, menjadi seorang pangeran.
Izin yang diberikan oleh Pranoto kepada Bupati Bulungan saat itu, Andi Tjatjo, untuk bebas bepergian ke Tawau juga menambah rasa curiga Soehario padanya. Soehario juga menganggap Pranoto bertanggung jawab atas nasib malang para transmigran dari Jawa Tengah di Petung, yang alih-alih mengerjakan lahan pertanian, terpaksa mengerjakan proyek pemasangan pipa minyak BPM dari Tanjung ke Balikpapan dan diterlantarkan begitu saja sehingga sebagian besar terpaksa mengemis di Balikpapan.
Akibat tuntutan DPRD Kalimantan Timur, pada tahun 1961, ia diberhentikan dari jabatannya. Pada bulan Februari 1962, Pranoto ditahan oleh pihak kepolisian atas tuduhan tindak pidana korupsi penggelapan uang negara sebesar Rp 13 juta.
Pranoto mulai ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 22 Februari 1962. Selama ditahan di RTM, ia diinterogasi oleh tentara.
Pranoto lalu dipindah pada awal April 1963 ke Rutan Balikpapan di kawasan Stalkuda untuk menunggu persidangannya. Pihak kejaksaan telah menyita uang sebesar Rp30.032 dan sebuah cek bernilai Rp1.190.389 sebagai barang bukti.
Meskipun tuduhan tersebut terbukti benar, namun menurut Harun Nafsi, yang sebenarnya dilakukan Pranoto adalah membagi-bagikan uang tersebut kepada kawan-kawan dan sekutunya yang benar-benar memerlukan uang. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya saat masih menjadi pejabat kesultanan.
Untuk menggantikan Pranoto, Soehario mengusulkan Abdoel Moeis Hassan, salah seorang calon yang diusung PNI, kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Ipik Gandamana.
Pranoto akhirnya dibebaskan dari tahanan pada awal masa Orde Baru dan kembali ke Samarinda. Di sana, dia tinggal di Perumahan Voorfo bersama keluarganya.
Ia meninggal di Rumah Sakit Umum Samarinda (kini RSUD Abdul Wahab Sjahranie) pada tanggal 19 Juni 1976 setelah dirawat di rumah sakit kurang lebih selama tiga minggu. Jenazahnya dimakamkan di Tenggarong sesuai wasiatnya semasa hidup.
Tinggalkan Balasan