CATATAN: Menggugah Rasa Kemanusiaan di Tengah Bencana

Oleh: Muhammad Fauzi, SE
(Anggota DPR RI Dapil Sulsel III)

BANJIR bandang Masamba menorehkan luka mendalam. Belum kering air mata duka, ada oknum telah menjadikan musibah ini kayu bakar demi menebar asap kebencian dan fitnah di media sosial.

Sebagai Anggota DPR RI dari Dapil Sulawesi Selatan III, saya merasa prihatin. Perlu rasanya menyampaikan pesan kemanusiaan untuk semua.

Juga sebagai suami Indah Putri Indriani yang tak lain bupati Luwu Utara, tak salah rasanya jika menulis tentang musibah ini dari sudut pandang sendiri.

***

Tak seperti biasanya, Senin 13 Juli 2020 sekitar pukul 9 malam saya sudah terlelap. Hari itu memang agenda padat. Dua rapat kerja Komisi VIII DPR ditambah kegiatan di luar Senayan. Tiba di rumah sekitar pukul 7 malam. Saya mandi, salat Maghrib lalu menunggu Isya, kemudian tertidur.

Sehari sebelumnya, Minggu 12 Juli 2020 tak kalah sibuk. Sepanjang hari menemani Istri (Indah Putri Indriani) yang sedang berada di Jakarta. Bersama calon wakilnya dan seorang staf, datang untuk menerima rekomendasi Pilkada 2020 dari Partai Golkar.

Mereka tiba di Jakarta pagi hari, pada Minggu 12 Juli 2020 sekitar pukul 07.30 WIB. Kemudian mereka baru balik pada Senin 13 Juli sekitar pukul 03.00 WIB (dini hari).

Senin 13 Juli, sekitar pukul 00.40 WIB, istri menuju Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Menumpang pesawat Garuda Indonesia (GA 640) menuju Makassar dan tiba di Masamba pada Senin 13 Juli 2020. Hari itu ia langsung berkantor seperti biasanya.

Sempat terpikir untuk masih menginap di Jakarta. Tapi, cuaca di Luwu Utara tak bersahabat. Hujan dengan intensitas lebat terjadi beberapa hari terakhir. Istri yang juga Bupati Luwu Utara khawatir, apalagi air Sungai Masamba sudah meluap beberapa hari belakangan. Curah hujan tinggi adalah penyebabnya.

Jadilah malam Selasa itu untuk saya melepas lelah. Dua hari dengan aktivitas menumpuk rasanya akan segera terbayar.

Tapi, tidur saya terganggu karena kaca jendela kamar digedor. Menurut sopir, ia bersusah payah membangunkan saya sampai suara ketukan pintu sudah tak mempan.

Sedikit sempoyongan saya ke luar. Betapa kagetnya. Berita banjir bandang di Luwu Utara saya terima. Tak kalah panik karena Rujab Bupati juga terdampak.

Sopir saya menerima kabar langsung dari istri. Saat saya mencoba berbicara dengan istri, komunikasi terputus. Kaget membuat ngantuk tiba-tiba hilang. Saya termenung sesaat.

Terlintas bagaimana kondisi Luwu Utara. Kabupaten yang kini punya hubungan emosional kuat dengan saya. Di luar itu, ada mereka yang saya khawatirkan keberadaanya. Istri, dua putri serta ibu dan bapak mertua yang semuanya ada di sana saat banjir besar datang.

Jujur saja, saya pernah mengalami hal yang lebih parah saat tsunami di Aceh. Waktu itu menjadi anggota DPR dari dapil Serambi Mekkah. Tapi situasinya berbeda. Bencana ini bagi saya pribadi lebih berat.

Sekarang mewakili masyarakat dari Dapil Sulsel III. Warga Kabupaten Luwu Utara khususnya menjadi penopang utama saya saat terpilih. Ditambah keluarga saya ada di lokasi saat kejadian.

Segera saya menyalakan TV, membuka ponsel untuk mencari berita. Terus berusaha berkomunikasi dengan siapa pun di Masamba. Dua jam lebih barulah saya tersambung dengan istri. Itu pun setelah gonta-ganti provider demi mencari yang masih aktif.

Kurang lebih 15 menit saya bertelponan. Dengan signal yang putus sambung istri bercerita. Kepanikan warganya di sana, anak-anak yang harus mengungsi, serta ibu dan bapak mertua yang tak bisa dihubungi.

Saat banjir bandang, istri dan dua anak saya tidak sedang bersama. Tanggung jawab sebagai bupati mengharuskan berada di luar. Ia bersama beberapa aparat pemerintah dan masyarakat tengah memantau air yang mulai naik. Tiba-tiba sekejap saja air meninggi.

Istri tersadar jika kedua putri kami masih ada di rumah jabatan. Ia pun bergegas ingin menjemput. Belum sempat masuk ke rujab, mereka berpapasan di halaman. Anak-anak dan sejumlah asisten rujab sudah dalam satu kendaraan bergerak meninggalkan rujab.

Istri menitip pesan ke sopir untuk membawa mereka ke daerah tinggi di Kelurahan Kappuna. Istri berencana menyusul belakangan. Mereka pun berpisah.

Malam itu, bupati bergerak ke sekitar bandara yang terletak di depan rujab. Ia masih berada di Kota Masamba untuk terus memantau air yang semakin tinggi.

Istri sempat menemui anak-anak di rumah pengungsian. Hanya 30 menit, bupati segera bergerak menuju ke Desa Radda. Laporan menenyebut daerah ini parah diterjang banjir bandang.

Cerita istri membuat saya terenyuh. Sebagai seorang bupati pasti ia sedang sangat terpukul. Tiap menit dari sejak cerita itu akan semakin berat. Laporan korban meninggal, korban hilang, rumah-rumah yang rusak akan terus berdatangan.

Saya berada 1.550 kilometer dari lokasi banjir bandang. Tapi kengerian di sana sangat terasa. Walau hanya lewat cerita istri yang menyampaikan kondisi masyarakat Luwu Utara.

Keesokan harinya, sambil terus memantau kondisi Masamba, saya menjalankan fungsi legislator. Koordinasi cepat saya lakukan ke Kementerian Sosial dan BNPB. Kebetulan saya ditempatkan di komisi yang memang bersentuhan dengan keagamaan, bencana dan sosial.

Setelah berbagai laporan dan masukan. Dua hari kemudian saya bertolak ke Luwu Utara. Di sana saya menunggu Menteri Sosial Juliari Batubara dan Kepala BNPB Doni Monardo yang datang ke Masamba.

Tidak ada yang pernah ingin musibah ini terjadi. Tetapi tidak juga ada yang kuasa menolak jika harus terjadi. Sebagai wakil rakyat dari Dapil Sulsel III, saya mengajak semua masyarakat khususnya Luwu Utara untuk tetap tabah.

Kita harus kuat, Luwu Utara harus bangkit. Kita tidak sendiri. Semoga saja, kita bisa memetik hikmah dari musibah besar ini.

Di sisi lain saya pahami Luwu Utara akan menggelar Pilkada dan bupati saat ini adalah inkumbent.

Hanya saja jangan musibah ini kita politisasi dengan fitnah demi kepentingan sesaat. Mari tanggalkan perbedaan dan gunakan energi untuk membantu saudara kita. Sebab kemanusiaan harus berdiri tegak di atas kepentingan apa pun. (*)

Komentar