TERASKATA.COM

Dari Timur Membangun Indonesia

Ketimpangan, Demokrasi dan Agama

admin |
Samsul Alam (Penggiat Demokrasi)

Oleh: Samsul Alam (Penggiat Demokrasi)

Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah gejala paradoks dari proses demokratisasi yang telah kita jalankan lebih dari 20 tahun dimana kebebasan perlahan mulai meredup, kebebasan berpendapat dan berekspresi menghadapi ancaman kriminalisasi.

Pemilu sebagai media “memuliakan perbedaan” justru menjadi ajang persekusi politik. Praktik politik distorsif sekedar menjadi perjuangan kuasa demi kuasa. Demokrasi yang sejatinya berkhidmat pada penguatan daulat rakyat dan kepentingan umum justru tersesat dalam retorika penegakan hukum yang membelokkan arah demokrasi menjadi tawanan kepentingan sempit para elit. Bahkan dalam melindungi kepentingan-kepentingan sempit para elit berkuasa mengembangkan doktrin eksklusif dan memanipulasi simbol-simbol. Sekarang hampir semua tokoh-tokoh oposisi menghadapi dakwaan makar dan penghinaan terhadap presiden.

Rezim penguasa cenderung agresif dan refresif menghadapi kritik-kritik oposisi dan kelompok masyarakat melalui media-media alternatif. Media-media konvensional yang katanya adalah pilar keempat demokrasi justru menjadi bagian dari sistem kekuasaan formal yang membenci aspirasi kelompok oposisi khususnya dan ummat islam pada umumnya, bahkan sebagian besar dari media-media konvensional tersebut justru menjadi tempat berlindung wajah buruk kekuasaan. Dengan surat kabar, kadang-kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan”. Kata Benyamin Constant (1767-1834)

Cara-cara rezim membangun wacana diskursif terhadap kemunculan gerakan gerakan yang membawa simbol-simbol “Islam” dalam arena politik  dengan mudah dilabelisasi sebagai “Islam Radikal”, sebuah pelabelan yang mengandung insinuasi terhadap ummat islam pada umumnya dan pada pendukung prabowo khususnya.
Dalam pendekatan historis, seperti yang dicatat oleh Vedi Hadiz kemunculan “Islam Radikal” tidak dapat dilepaskan dari marjinalisasi negara orde baru terhadap kelompok-kelompok islam dari akses sumberdaya dimana negara yang banyak bersekutu dengan kaum borjuasi yang didominasi para etnis china.

Pemerintah Orde Baru memberikan prioritas kepada keturunan china untuk menjalankan bisnis sehingga keturunan china yang hanya berjumlah 3 % dari penduduk Indonesia mampu mengontrol 70 % perekonomian Indonesia. Kebijakan tersebut telah menyebabkan kesenjangan ekonomi antara pribumi (muslim) dengan nonpribumi (china non-muslim).

Pertumbuhan kapitalis modern di Indonesia tidak ditemukan diantara para borjuasi muslim tradisional ditengah pertumbuhan konglomerat yang dijalankan oleh pengusaha etnis china dan beberapa keluarga yang memegang kekuasaan birokrasi serta berhubungan erat dengan para konglomerat. 
Bahkan Menurut Robison transformasi kapitalis ini telah memunculkan
fenomena Kemunduran Muslim Merchant Bourgeoisie sebagai akibat
kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak memproteksi pengusaha
muslim pribumi dalam kompetisinya terhadap investasi asing dan
pengusaha Cina yang bersifat padat teknologi dalam perkembangan
kapital di Indonesia.
Dalam posisi ini Perkembangan negara tidak terpisahkan dari perkembangan kapitalisme di indonesia.

Apakah kesenjangan itu semata-mata terjadi di era Orde Baru? Jika ditelusuri jauh kebelakang, kesenjangan itu terjadi sejak era pra kemerdekaan, Kesenjangan antar kelas dan ras diperburuk pada sistem tanam paksa pada pertengahan abad 19 menyebabkan ekonomi masyarakat pribumi semakin tertinggal dibanding kelas menengah Cina dan masyarakat Eropa.
Disektor perdagangan, pedagang pribumi secara struktural mengalami kesulitan untuk mengubah skala perdagangannnya dari retail (eceran) ke wholesale (skala borongan), karena komunitas-komunitas Cina telah menguasai perdagangan dalam skala yang lebih besar, beserta alat produksinya (Furnivall, 1939: 406).

20 tahun reformasi posisi kaum borjuasi tetap menguasai kekayaan nasional, mereka mampu meraup dua pertiga kekayaannya dari praktek bisnis di sektor kroni (crony sectors), yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan.

Oleh karena itu tidak mengejutkan jika  crony-capitalism index yang dirilis The Economist posisi Indonesia bertengger di peringkat ketujuh di dunia. Posisi Indonesia pada tahun 2016 itu memburuk dibandingkan tahun 2007 dan 2014. Indeks ini menunjukkan lonjakan kekayaan para miliarder yang mempunyai  hubungan erat dengan penguasa. Indeks ini sendiri dirancang untuk me­nunjukkan relasi patri­mo­nialistik dan klientalistik antara penguasa dan pengu­saha.

Tahun 2017, dalam dokumen “Menuju Indonesia yang Lebih Setara: Laporan Ketimpangan Indonesia” (INFID-OXFAM 2007) dinyatakan bahwa kekayaan empat orang Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin di Indonesia.

Segelintir orang di Indonesia menguasai kekayaan mencapai 3,8 persen dari total GDP pada tahun 2016. Angka itu pun naik dari tahun 2014, yakni 3,76 persen dari total GDP dengan peringkat ke-8. mengutip data Credit Suisse yang menunjukkan sekitar 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4 persen kekayaan nasional.
Sementara itu, 10 persen orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8 persen kekayaan nasional

Dalam hal akses kepemilikan tanah, laporan World Bank tahun 2015 mencatat 0,2% orang terkaya di Indonesia menguasai 74% dari tanah di Indonesia, sementara 99,8% hanya memperoleh akses 26% sisanya.

Pada 2012, ilmuwan politik asal Harvard University James A. Robinson dan profesor ekonomi MIT Daron Acemoglu menerbitkan Why Nations Fail? The Origin of Power, Prosperity and Poverty, seperti dikutip Airlangga Pribadi Kusman, yang mengurai tentang akar-akar keberhasilan dan kegagalan suatu negeri. Kemiskinan dan ketimpangan sosial di sebuah negara, tulis Acemoglu dan Robinson, diakibatkan oleh kawanan elite yang menguasai dan mengorganisir lembaga-lembaga politiknya (termasuk lembaga negara) demi keuntungan pribadi dan pendukungnya.

Mereka memiliki pengaruh politik yang jauh lebih kuat dan tidak tertandingi dibanding mayoritas pemilih. mengukuhkan watak borjuis dari sistem politik di bawah kapitalisme. Dibawah payung pemilu mereka melestarikan marwah negara kapitalis sebagai alat menumpuk kekayaan. Walhasil, terciptalah struktur politik yang memuluskan penguasaan akses negara oleh pada segelintir orang.

Agama Sebagai Sumber Kritik

Apa yang ingin disampaikan dalam pemaparan diatas adalah bahwa label “Islam Radikal” yang selalu dikaitkan dengan aksi terorisme adalah wujud sebenarnya dari perlawanan kelas yang menyejarah dalam sejarah bangsa ini, mereka yang tersingkir dan termarjinalkan oleh oligarki kelas kapitalis (borjuasi) dan negara yang terus menerus menubuh dalam sistem politik kita baik itu otoriter maupun demokrasi. Persekongkolan aktor pengusaha-penguasa sukses bertahan, dan mayoritas yang tersingkir adalah ummat islam sebagai bagian terbesar dari penduduk Indonesia. Meskipun perlu dicatat bahwa persoalan kesenjangan ekonomi tidak bisa dilihat sebagai persoalan ras namun rasisme itu selalu muncul disela-sela kondisi struktural yang timpang. Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi dan sosial diaksentuasi oleh perbedaan kelas dan ras dan bukan karena produk sentimen identitas semata.

Artinya,
peristiwa-peristiwa yang terkait dengan akai-aksi yang membawa simbol-simbol agama tidak boleh dianggap sebagai fenomena yang terisolasi dari aspek-aspek ekonomi, politik, budaya dan sosial.
Pada titik ini, agama (islam) yang selalu dituduh dengan nada peyoratif muncul sebagai sebuah ideologi alternatif menyediakan kritik yang berharga bagi ideologi sekuler.

Agama dalam banyak kasus telah berfungsi sebagai kekuatan kritis. Munculnya fundamentalisme sangat erat kaitannya dengan fungsi kritik dari agama terhadap praktik eksploitasi, ketimpangan serta berbagai praktik ekonomi politik yang menyebabkan krisis subsistensi dikalangan ummat islam. Bahkan, agama yang
tidak dapat melancarkan kritik sosial berarti sudah mati (Ackermann, 1991).

Dengan demikian kita perlu secara netral, jernih dan objektif menilai kehadiran gerakan-gerakan yang dituduh radikal sebagai produk dari dogma-dogma agama an sich seperti yang dipropagandakan kaum neo konservatif yg cenderung memposisikan “islam radikal” sebagai “tersangka” ketika terjadi aksi-aksi yang membawa simbol-simbol agama. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini