OPINI: Membangun Partisipasi Pilkada 2020

Oleh: Hendra Al Ghafur ( Pendiri sekaligus Ketua pertama Himpunan Kerukunan Mahasiswa Luwu Utara )

Menjelang Tahapan Pilkada 2020 dan Upaya mendorong partisipasi masyarakat dalam menyukseskan Pesta Demokrasi lima Tahunan tersebut ada baiknya di mulai se dini mungkin tanpa harus menunggu Tahapan Pilkada berlangsung, Sebab kesadaran akan tanggungjawab menciptakan proses demokrasi bukan bergantung pada setiap tahapan Pilkada atau pemilu sehingga sangat dilema jika ruang ruang strategi partisipasi masyarakat berlalu begitu saja atau hanya digaungkan pada saat momentum pilkada berjalan, Padahal KPU terlebih lagi Bawaslu telah permanen di tingkat Kabupaten/Kota.

Sehingga dua lembaga ini memungkinkan bersinergi tidak lagi memulai dari nol di setiap tahapan memberikan edukasi demokrasi dan politik kepada masyarakat disetiap momentum, Dalam regulasi sendiri baik pada tingkatan penyelenggara dan pemerintah bahkan di partai politik pun ada ruang ruang edukasi yang semestinya digunakan agar rantai pemahaman tentang Demokrasi tidak terputus di tengah tengah masyarakat.

Di setiap hajatan Demokrasi penyelenggara selalu mengajak masyarakat ikut berpartisipasi, Memberikan peran aktif, mengawasi dan bersama sama melahirkan pemimpin yang baik. Ajakan tersebut dilaksanakan dalam bentuk program di setiap tahapan yang mengacu pada anggaran yang pada dasarnya kurang maksimal sebab ada deadline serta capaian capaian tertentu yang harus dicapai sehingga terkadang pelaksanaannya secara administratif lengkap namun secara subtansi visi mengikutsertakan masyarakat dalam proses partisipasi tidak maksimal.

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat proses pembangunan pola partisipatif kurang maksimal selama ini, Pertama. Sering kali Program upaya meningkatkan partisipasi masyarakat digalakkan pada saat tahapan pesta demokrasi dimulai, Padahal sesungguhnya ruang yang paling tepat mengisi serta memelihara edukasi Demokrasi ditengah tengah masyarakat adalah saat tidak ada tuntutan untuk menentukan pilihan, Sehingga pada saat momentum hajatan politik tiba masyarakat tidak lagi kaget atau minimal penyelenggara tidak lagi membuang terlalu banyak tenaga melaksanakan kegiatan yang sifatnya teory sebab masyarakat telah terbiasa dengan edukasi demokrasi. Penyelenggara dan Pemerintah tinggal fokus pada proses mekanisme teknis saja.

Ke dua, Secara subjektif jika kita melihat secara struktural penyelenggara sangat terbatas, Apa lagi ditingkat Desa yang notabenenya merekalah yang langsung bersentuhan dengan akar permasalahan, Belum lagi masa kerja dan sumber daya manusia juga terbatas tentang Demokrasi maka tentu ruang ruang edukasi tentang partisipasi tidak bisa terlalu digantungkan atau diharapkan kepada mereka sebab perekrutannya dilakukan secara cepat dan bekerja secara singkat sehingga diperlukan formula baru bagaimana edukasi kepada masyakat terkhusus pada penyelenggara hingga ke tingkat akar/Desa tidak terputus sehingga nilai pengetahuan dan karakter tetap melekat di tengah masyarakat misalkan menjadikan dan melibatkan mereka di setiap kegiatan sosial kemasyarakatan sebab penyelenggara ditingkatan kecamatan masih bersifat Ad Hoc sehingga penting menjadikan mereka sebagai mitra sosial

Ketiga, Secara Objektif jika kita lihat dari wilayah kerja administrasi, Masih ada wilayah yang belum berimbang antara edukasi Demokrasi dan kepentingan politik yang ada di tengah masyarakat belum lagi sumber transparansi Data kepemiluan/pilkada misalkan sangat terbatas untuk diakses oleh masyarakat sehingga juga mengurangi minat peran masyarakat untuk ikut berpartisipasi pada saat hajatan sebab mereka merasa yang dibutuhkan hanya suara mereka saja dan ini sangat rawan menciptakan ruang ketergantungan untuk masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Ke empat, Program yang dilaksanakan oleh penyelenggara setelah momentum tahapan selesai terkadang hanya bersifat internal kelembagaan padahal seharusnya ada giat sosial dan edukasi yang mesti dilaksanakan berkaitan dengan tahapan selanjutnya sebab telah ada data DIM misalnya yang menjadi rujukan untuk bekerja sehingga lembaga penyelenggara di tingkat Kabupaten Kota tidak terlihat hanya menunggu Tahapan, Dengan modal tersebut maka memungkinkan penyelenggara melakukan program menjemput sekaligus mengantarkan informasi bukan didatangi, Pola menjemput bola dengan mendatangi simpul simpul aktifitas masyarakat yang aktif membahas proses Demokrasi tentu akan memberikan ruang ruang komunikasi di tengah masyarakat dalam upaya menciptakan sinergitas melahirkan proses demokrasi yang lebih baik

Jika kita merujuk pada data dari setiap pilkada/Pemilu maka itu dapat dijadikan sebagai dasar melakukan Evaluasi, edukasi, dan penguatan partisipasi masyarakat saat tahapan selesai sehingga penyelenggara dan pemerintah fokus pada peningkatan kwalitas demokrasi maupun penguatan pada data pemilih yang selalunya mengalami permasalahan dan untuk melaksanakan hal tersebut ruang paling efektif adalah memanfaatkan koordinasi antar lembaga, Bawaslu, KPU dan Pemerintah bahkan partai politik dalam hal membangun partisipasi maupun perbaikan data pemilih pasca tahapan selesai dengan melibatkan instrumen sosial di masyarakat dan itu tidak membutuhkan dana yang besar, Melalui pendekatan sosial maka kita dapat menciptakan ruang edukasi ditengah masyarakat, memberikan pemahaman regulasi, memberikan pemahaman tentang bahaya politik uang dan lain sebagainya sehingga tidak lagi menunggu tahapan berlangsung baru melakukan aktifitas.

Sebagai Contoh Kabupaten Luwu Utara adalah Kabupaten yang akan melakukan Pilkada di Tahun 2020, Pemetaan ruang partisipasi tidak terlalu sulit dan sangat strategis jika kita melihat pontensi pada pilkada Tahun 2018 dan pemilub2019 dimana Kabupaten Luwu Utara melaksanakan Pemilihan Gubernur dan beririsan dengan Pemilu sehingga hasil dari itu tentu memudahkan masyarakat untuk menerima program edukasi jika dilaksanakan sebab bayangan tentang pemilihan masih terekam jelas di memori masyakarat maka dengan begitu akan memudahkan menjadikan mereka sebagai mitra penyelenggara dan pemerintah dalam hal menyiapkan proses pilkada yang lebih baik ke depan, Diantaranya, Lebih dini mengajak kelompok Pemuda, Baim di tingkatan desa maupun pada tingkatan mahasiswa dan tokoh tokoh masyarakat melakukan diskursus tentang pemetaan potensi yang memungkinkan terjadi di Pilkada 2020 serta Menciptakan ruang kajian dengan pemerhati Demokrasi tentang beberapa kewenangan penyelenggara terkait UU pilkada No 10 tahun 2016 dan relevansi dengan UU No 7 tahun 2017, Melakukan Update data pemilih berbasis desa dengan mengembangkan pola kemitraan atau relawan Demokrasi untuk melakukan kroscek data pemilih dengan menggunakan data terakhir dengan melibatkan perangkat ex penyelenggara di tiap tingkatan minimal pada ruang keterbukaan informasi, Keluar dari zona nyaman dengan kata lain disela sela pasca pemilu 2019 kegiatan kegiatan penguatan kelembagaan penyelenggara lebih difokuskan pada pendekatan masyarakat untuk membangun kepercayaan publik bahwa membangun edukasi partisipasi masyarakat tidak selalunya bergantung pada tahapan dan anggaran namun mampu berbaur dikegiatan kegiatan sosial masyarakat lainnya.

Misalkan mengaktifkan buletin mingguan tentang edukasi pengawasan dan partisipasi dikegiatan sosial keagamaan, menghadiri pengajian dan membentuk Desa/Kelompok sadar pemilu. Dengan bermodal koordinasi dan membuka ruang sosial akan lebih memudahkan penyelenggara mencapai tujuan partisipasi yang maksimal.

Satu hal yang juga harus menjadi perhatian dalam upaya merawat demokrasi dan memaksimalkan edukasi adalah peran media sosial, Online serta media cetak Sebab dengan menjadikan media sebagai medium kemitraan tentu dengan sendirinya menyasar kaum Milenial jika perlu secara kelembagaan jika memungkinkan bersama sama melaksanakan pelatihan jurnalistik dengan tema demokrasi sebab data yang ada menunjukkan bahwa pemilih milenial/muda lebih banyak dibanding dengan pemilih yang sudah lanjut usia.

Memang tidak mudah membangun pola partisipasi masyarakat mengawal Demokrasi bangsa ini mengingat memang Lembaga Penyelenggara masih terbilang muda, tantangan masih banyak namun bukan berarti kita harus berhenti dan tidak mencoba melakukan apa yang bisa kita lakukan sebab lebih sulit lagi jika kita menunggu Tahapan baru berinisiasi kembali membangun partisipasi masyarakat karena ada ruang edukasi yang terputus disana sehingga mindsed yang ada bahwa penyelenggaran demokrasi sangat bergantung pada anggaran tanpa melihat modal pendekatan sosial serta kerifan lokal yang ada.(*)

Komentar