Opini: Saatnya Reformasi Sistem Pendidikan di Institusi Polri
Oleh: Apdal SSos (Koordinator Kebijakan Publik PW KAMMI Sulsel)
Beberapa hari ini, publik disajikan rentetan kejadian yang sangat miris dilakukan oleh personel Kepolisian yang terkesan tidak humanis dan refresif. Di antaranya yaitu ketika sekumpulan mahasiswa tengah melakukan aksi di depan kantor Wali Kota Tangerang ada peristiwa yang membuat publik geram.
Ini bisa dilihat di media sosial yang viral bersebaran potongan video yang menunjukakan seorang oknum polisi yang tengah mengawal aksi tersebut membanting dengan keras salah satu peserta aksi.
Dari Sumatra Utara juga tersebar video pemukulan oleh oknum Satlantas terhadap pengguna jalan dan yang terbaru penggeledahan ponsel milik seorang warga secara paksa yang dilakukan seseorang polisi, serta beberapa kejadian lainnya yang menyorot perilaku dari anggota institusi Polri.
Institusi polri juga sering disorot terkait tindakan Exstrajudicial killingyaitu suatu tindakan aparat yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa tanpa melalui proses pengadilan.
Tindakan demikian banyak diambil aparat misalnya dalam penanganan kasus terorisme, dimana banyak yang kehilangan nyawa padahal statusnya masih terduga.
Dalam sistem peradilan pidana Indoesia berlaku asas praduga tak bersalah yang menyatakan, seseorang masih mempunyai hak-hak asasinya. Selama belum ada putusan final yang menyatakakan seseorang tersebut bersalah.
Kejadian serupa di atas merupakan sekian dari banyak kejadian yang telah dilakukan oleh personel di institusi Polri.
Mengapa peristiwa-peristiwa serupa terus berulang dan ini diafirmasi oleh catatan komnas HAM yang menyatakan dari periode 2016 sampai 2020 Komnas HAM menrerima sebanyak 28.305 aduan dan mencatat 43,9 persen aduan di tunjukkan untuk aparat Kepolisian. Apa yang salah di institusi ini?
Fakta tersebut menunjukkan adanya paradoks dalam proses internalisasi pemahaman akan fungsi dan tugas Polri ke setiap personilnya. Sebagaimana diamanatkan oleh UU NO. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam konsideran UU tersebut dijelaskan bahwa Polri bertugas untuk melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungn, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.
Amanat UU ini sangat jelas menunjukkan bahwa Polri merupakan bagian yang sangat inheren dari masyarakat sipil dan inilah yang secara garis besar membedakannya dengan Intitusi TNI yang memilki paradigma secara umum menjaga keamanan dan kedaulatan negara dari ancaman dalam frame yang lebih besar.
Perbedaan mendasar itu pulalah yang seharusnya menjadi acuan dalam pola rekrutmen dan pendidikan di tubuh Polri. Untuk bisa masuk menjadi anggota Polri, secara umum ada dua sitem pendidikan yang diterapkan yaitu yang pertama, mengikuti rekrutmen untuk menjadi Tamtama dan Bintara di sekolah polisi negara (SPN). Pendidikan Tamtama menempu pendidikan selama kurang lebih lima bulan sedangkan untuk bintara kurang lebih tujuh bulan.
Kedua, melalui pendidikan di Akademi Kepolisian (AKPOL) selama empat tahun ini setara dengan level jenjang Strata Satu (S1). Lulusan pendidikan di Akademi Kepolisian menghasilkan golongan perwira.
Sistem pendidikan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan dua peran yang berbeda di tubuh polri. Golongan pertama yaitu Tamtama dan Bintara berperan sebagai pelaksana teknis di lapangan sedangkan untuk perwira di tunjukkan untuk fungsi manjerial. Tentang sistem penddikan di Polri, lebih jelasnya kita bisalihat diperatura Kapolri nomor 14 tahun 2015 tentang sistem pendidikan kepolisian negara republik Indonesia, dalam peraturan ini sangat jelas bagaimana perbedaan yang sangat mencolok pola pendidikan antara golongan tamtama dan juga bintara dengan golongan perwira.
Di sinilah letak problem besarnya ada gap yang sangat besar dari dua pola pendidikan tersebut, dimana aparat kepolisian yang kadang berhadapkan langsung dengan masyarakat sipil adalah mereka yang golongan pertama tadi yaitu Tamtama dan Bintara sebagai pelaksana lapangan, secara nalar ini merupakan sesuatu yang sangat konyol.
Bagaimana tidak, mereka yang tadinya hanya tamat pendidikan SLTA/SMA kemudian masuk dalam sistem pendidikan yang hanya ditempuh dengan waktu lima sampai tujuh bulan dengan pola pendidikan yang dominan latihan fisik, kemudian langsung diberikan peran di garda terdepan, dengan dibekali berbagai perangkat persenjataan mulai dari yang sederhana sampai senjata mematikan.
Di tangan mereka hidup dan mati masyarakat sipil ditentukan. Bukankah ini sama saja dengan melegalkan premanisme berseragam atas nama negara.
Menghadapi masyarakat sipil itu berbeda dengan menghadapi musuh di medan peperangan.
Pertanyaannya apakah taruna kepolisian sudah dibekali dengan pengetahuan hukum?, paling tidak pengetahuan dasar, ataukah sudah dibekali pengetahuan psikologi dan sosiologis?, dan sudakah mereka dibekali pengetahuan dasar tentang HAM?, dengan waktu pendidikan yang begitu singkat persis sama dengan satu semester di jenjang sekolah atau perguruan tinggi. Rasanya sangat mustahil dengan waktu yang begitu singkat untuk membekali dengan cukup pengetahuan-pegetahuan dasar tadi apalagi beriringan dengan latihan fisik yang begitu keras.
Menjadi Bintara misalnya dengan lama pendidikan tujuh bulan pola pendidikannya terbagi dalam tiga jenjang meliputi; 2 bulan untuk pembentukan dasar bayangkara, 4,5 untuk pembekalan profesi kepolisian, dan 0,5 bulan untuk pembulatan meliputi latihan teknis, latihan kerja dan pembekalan. Bayangkan bagaimana singkatnya pola pendidikan tersebut, apalagi mereka yang menempu golongan Tamtama lebih singkat lagi cuman lima bulan.
Padahal Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus mengedepankan pendekatan yang humanis, karakter humanis itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilekatkan pada keperibadian individu, Humanis sangat erat kaitannya dengan hati nurani, untuk menajamkan hati nurani diperlukan pendidikan, latihan, penanaman paradigma. Hati nurani yang tumpul biasanya merupakan akibat dari pola pendidikan yang kurang, internalisasi nilai dan norma yang gagal, dan lingkungan yang tidak simpatik. Hati nurani walau merupakan perangkat yang absurd dari dimensi material, namun hati nurani inilah yang memandu individu untuk melakukan perbuatan moral. Pembinaan hati nurani yang tumpul dapat menghancurkan tatanan sosial masyarakat.
Tamatan SLTA yang kondisi psikologisnya masih labil kemudian dituntut dengan kerasnya pendididkan fisik, dan ditempatkan camp-camp yang terpisah dengan masyarakat sehingga proses perkembangan sosial dan moral (social and moral depelopment) sedikit terabaikan, bukankah hanya akan melahirkan satu wajah baru yang penuh dengan kegarangan.
Bentuk negara yang dipenuhi oleh kekerasan dan represitas yang dilakukan aparat dalam masyarakat sipil adalah bentuk kemunduran dari peradaban sebagai sebuah negara demokrasi modern bahkan megalami kemunduran jauh sebelum teori negara lahir yakni teori kontrak sosial, dimana negara lahir akibat kegelisahan yang dialami oleh masyarkat akibat dari apa yang seperti dicetuskan dalam karya plautus berjudul Asinaria yaitu adanya sistem homo homuni lupus (195 SM lupus east homo homini) yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Negara lahir untuk mengakhiri tradisi hukum rimbah tersebut dengan melahirkan satu sistem yang disebut kontrak sosial.
Individu-individu menyerahkan kekuasaanya kepada negara supaya terkelola dengan baik bahkan mereka siap membiayai semua perangkat kekuasaan negara itu agar bisa maksimal dalam mengelola masyarakat, falsafah inilah yang seharusnya hadir dalam paradigma setiap perangkat institusi negara bahwa kehadiran dan eksistensi mereka ada karena rakyat.
Paradigma bernegara ini memungkinkan pengelolaan negara termasuk didalamnya menciptakan ketertiban dengan cara menihilkan penegakan hukum dengan cara represif dan juga penjara, penegakan hukum harus mampu terserap atau terinternalisasi dengan basis sosial.
Inilah indikator negara modern. Di mana ketertiban tercipta dengan nihilnya penghukuman fisik (represif/penjara), bukan sebaliknya mendamba ketertiban dengan cara refresif dan penjara yang penuh.
Pandangan ini hanya menyentu satu sisi yaitu menyoal adanya gap yang besar terhadap pola pendidikan yang terpampang sangat jelas dan kontras di tubuh Polri antara golongan tamtama atau bintara dengan golongan perwira.
Walapun juga kita tidak bisa pungkiri bahwa mereka yang menempuh pendidikan di Akpol cukup lama yang menghasilkan perwira tidak lepas dari sengkarut masalah yang terjadi di tubuh Polri.
Namun harapannya, semoga ke depan ada perbaikan dalam sistem pendidikan di institusi Polri agar internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia ke setiap personel lebih baik lagi, dan juga pembekalan yang cukup terkait pemahaman akan kompleksitas yang di hadapi di tengah-tengah masyarakat indonesia, karena soal penegakan hukum dalam negara demokrasi bukanlah sesuatu yang rigit dan kaku.(*)
Tinggalkan Balasan