OPINI: Sejak Kapan Kritik Menjadi Kejahatan?

Oleh: Hasan Sufyan

Waktu Nabi Adam diciptakan, Malaikat kritik dan protes kepada Allah SWT. Kritik malaikat diabadikan di dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 30. 

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”  Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah[2]: 30).

Apakah kritik Malaikat kepada Allah, adalah kejahatan?, tentu saja tidak. Dialog Allah dengan malaikat adalah dialog pembelajaran sekaligus peringatan. Kritik malaikat adalah peringatan kepada manusia yang selalu berpotensi berbuat salah, namun Tuhan juga memperingatkan kepada Malaikat bahwa ada pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Malaikat dan hanya Allah yang tahu soal fungsi manusia sebagai khalifah dimuka bumi. 

Ayat diatas juga jadi pembelajaran bahwa kritik mengkritik sifatnya alamiah, sama alamiahnya dengan saling puji memuji sesama manusia. Kritik berpotensi memunculkan ketidak sukaan, sedangkan puji memuji berpotensi meninggikan kepala bagi yang menerima pujian.

Kritik pada dataran dua orang atau lebih, masih biasa-biasa saja, namun menjadi hal tidak biasa jika kritik dikaitkan dengan politik dan kekuasaan. Ada konsekuensi jika kritik dilayangkan kepada kekuasaan. Menjadi seorang yang kritis, tidak lah gampang jika dikaitkan kritik dengan kekuasaan.

Dalam tradisi ilmu pengetahuan kritik merupakan hal yang biasa. Misal, kritik sebagai metode filsafat ala Immanuel Kant, sehingga disebut filsafat kritis, karena mengkritik empirisme dan rasionalisme kemudian mengabungkan keduanya sebagai satu metode yang tidak terpisah, dalam tradisi filsafat kritik Kant  masih hal biasa dan diterima oleh semua orang,  atau kritik terhadap ilmu sosial positivisme Comte oleh Habermas sehingga dikenal Mazhab Kritis atau mazhab Frankfurt Jerman, kritik ilmu sosial tersebut juga masih dianggap biasa. Namun jika kritik diarahkan kepada otoritas kekuasaan, maka makna kritik menjadi lain dan memiliki implikasi tersendiri bagi pengkritiknya.

Dalam sejarah peradaban manusia dan sejarah ilmu pengetahuan, tidak sedikit para ilmuwan kehilangan nyawa karena berbeda pendapat dengan otoritas kekuasaan, termasuk otoritas kekuasaan lembaga agama. Nama-nama besar seperti Sokrates, Copernicus, Galileo, Bruno, Ibnu Arabi, Mansur Al Hallaj, Siti Jenar, mereka semua dipenjara dan dibunuh hanya karena berbeda dengan kekuasaan. 

Dari sini kita bisa lihat, bahwa kritik bisa tertuduh menjadi kejahatan, jika kritik dianggap mengganggu keberlangsungan kekuasaan. 

Sejak dulu kala, ketika manusia terlanjur menaruh kepercayaan terhadap demokrasi, dan ketika sistem negara menganut sistem demokrasi, kritik dianggap sebagai bagian dari sistem bernegara, tidak ada kritik berarti demokrasi mati, kritik dihilangkan berarti demokrasi berubah bentuk menjadi otoritarian. 

Pada sistem demokrasi, oposisi kekuasaan mendapatkan tempat yang terhormat yang mesti dihargai, kritik dianggap sebagai bagian dari menyehatkan lembaga politik, kritik adalah stimulus dari luar agar sistem politik dapat berjalan dengan baik, kritik berfungsi untuk mereposisi jalannya sistem politik yang dianggap keluar dari jalur konstitusi. 

Hanya pada tangan kekuasaan, kritik menjadi kejahatan. Kalau kritik sudah menjadi kejahatan, berarti dengan sendirinya oposisi tidak memiliki tempat, disinilah pentingnya kita menghargai oposisi. Ketiadaan oposisi berarti membiarkan otoritas penguasa dan kekuasaan bertindak seenak perutnya. 

Kritik yang dianggap kejahatan apakah ini berbahaya?. Tentu saja sangat berbahaya, tidur nyenyak anda bisa terganggu hanya karena urusan sepeleh, selepas beberapa menit membuat status di media sosial, anda mungkin menganggapnya biasa saja, tapi bisa saja akibat status anda di media sosial, tidur nyenyak anda terganggu karena pintu rumah digedor keras dari luar dan anda diseret ke kantor polisi. Ini hanya ilustrasi, andai suatu saat negara penganut demokrasi, kritik sudah dianggap sebagai kejahatan.

Terminologi kejahatan sebenarnya agak sulit memiliki definsi tunggal, mungkin itu juga yang membuat fakultas ilmu sosial ilmu politik membuat satu jurusan kriminologi, jurusan khusus mempelajari jenis-jenis kejahatan dan motifnya. 

Terkait kejahatan politik, melibatkan banyak spesialis ilmu, bukan hanya ilmu politik, tapi juga hukum, psikologi, sosiologi, krimonologi, termasuk filsafat. Sehingga, sebenarnya tidak mudah menuduh seseorang jahat didunia politik. 

Sebagai contoh, dalam UU  Pemilu No. 17 tahun 2017, kejahatan atau pidana pemilu secara ekplisit bisa dikenali, misal politik uang, memberikan suara lebih dari satu kali, mengisi data diri secara tidak benar dalam daftar pemilih, kepala desa berpihak ke salah satu peserta pemilu, menghalangi atau mengacaukan kampanye, kampanye diluar jadwal, keterangan tidak benar terkait dana kampanye, tindakan yang menghilangkan hak pilih orang lain, semua pidana pemilu diatas kadang-kadang teman-teman dari Bawaslu dan Tim penegakan hukum terpadu Gakkumdu (Bawaslu, Polisi dan Kejaksaan) memerlukan waktu untuk menyelidiki dan memeriksa kemudian menetapkan tersangka atas pidana pemilu. 

Proses penanganan pidana pemilu, kadang rumit dan sulit, proses pembuktian pidana pemilu kadang habis di waktu dan masa penanganan, akhirnya kadang hasil sidang dan temuan dari GAKKUMDU menimbulkan ketidakpuasan dari pelapor atau dari pelapor peserta pemilu. Ini menandakan bahwa kejahatan politik tidak mudah dalam proses pembuktiannya, sehingga tidak mudah menjadikan seseorang jadi tersangka apalagi terpidana sebab tuduhan kejahatan politik.

Menuduh pelaku kritik, sebagai kejahatan politik, sebenarnya ibarat dua sejoli yang lagi pacaran dan kasmaran, pada suatu ketika hubungan mereka retak dan berakhir saling melukai perasaan, dan keluar ungkapan, “kamu jahat!”, ungkapan jahat disini tentu bukan jenis kejahatan yang bisa dipidana. 

Namun begitulah kadang demokrasi, kadang menampilkan wajah anomali, apapun itu demokrasi tetap harus diperjuangkan dipertahankan agar setiap saat kita bisa merayakan aneka warna perbedaan yang ada disekitar kita.

Wallahu A’lam Bisswab.

Komentar