Opini “Sejak Kapan Kritik Menjadi Kejahatan?”, Luput Dari Persfektif Kekuasaan
Oleh: Ishak Laoede Sabania
” Opini yang berjudul “Sejak Kapan Kritik Menjadi Kejahatan?” oleh Bung Hasan Sufyan, telah luput membahas perspektif kekuasaan menjaga keseimbangan tatanan politik. “
Sejak kapan kritik menjadi kejahatan?. Kalimat ini memang menarik dijadikan judul opini, dan juga sangat pas dijadikan bahan berdiskusi saat ini. Apalagi sekarang lagi musim demo “Penolakan Omnibus Law”.
Pada opini yang ditulis oleh Bung Hasan Sufyan atau lebih akrab disapa Bung Upy itu, banyak menyinggung soal kritik kekuasaan yang katanya terkadang kritik yang dilontarkan oleh para oposisi, dianggap kejahatan politik oleh para penguasa jika kritikan itu telah mengganggu jalannya kekuasaan.
Di sisi lain, bagi para oposisi kritik itu dianggap sebagai bagian dari demokrasi. pada opini itu, dikutip bahwa, “ketika sistem negara menganut sistem demokrasi, kritik dianggap sebagai bagian dari sistem bernegara, tidak ada kritik berarti demokrasi mati, kritik dihilangkan berarti demokrasi berubah bentuk menjadi otoritarian”.
Dari sini saya bisa melihat, maksud dari opini itu mencoba mengemukakan dua pendapat yang berbeda. Satu mengatakan kritik itu adalah bagian dari demokrasi, dan yang satunya lagi mengaggap kritik itu adalah kejahatan.
Tapi sayang sekali, opini itu tidak mampu mempertemukan dua pandangan tersebut, juga tidak mampu menjadi penengah, tidak menjadikan semuanya sedikit lebih harmoni dan saling memahami, dan semata-mata seolah hanya memojokkan penguasa saja. Kata oposisi juga tidak diperjelas, seperti apa bentuknya, perbedaan sikap oposisi dengan penumpang gelap, kritik atau semata agitasi politik membenci kekuasaan dan menguntungkan pihak tertentu?.
Saat ini, kita semua mesti sadar, bahwa negara ini adalah negara hukum, penguasa bisa saja mengatakan bahwa kritikan yang dilontarkan kepada mereka adalah sebuah kejahatan. Meskipun tidak semua kejahatan bisa dipolisikan. Memang terkadang sesuatu yang membuat kita tersinggung, kita anggap sebagai kejahatan, namun kejahatan yang kita maksud itu tidak sama sekali mengandung unsur hukum.
Begitupun dengan pandangan para pihak oposisi, bahwa kritik itu adalah bagian dari berdemokrasi, ini juga betul. tapi mesti diketahui bahwa terkadang juga yang melontarkan kritik, tidak menyadari bahwa saat berbicara di ruang terbuka, anggap saja di depan khlayak umum atau di media sosial, kita dibatasi oleh aturan hukum. contoh, misalnya di sosial media, di ruang ini, kita dibatasi oleh undang-undang ITE, belum lagi soal undang-undang pencemaran nama baik. Bukan malah seolah membenarkan semua kritikan tanpa melihat dengan nalar kritis dan juga unsur-unsur hukumnya.
Meskipun Undang-undang ITE terkadang dianggap sebagai alat kekuasaan untuk membungkam suara kritik, tapi juga mesti dipahami bahwa UU ITE ini juga bisa berfungsi sebagai alat menjaga kestabilan tatanan politik. buktinya seseorang yang telah melakukan black campain di sosial media, dapat dengan gampang terjerat kasus pidana. Ini contoh kecilnya saja.
Penguasa tidak pantas dikatakan bisa berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya, karena mereka sudah nyata diatur oleh hukum. Penguasa tidak punya kapasitas melarang masyarakatnya melontarkan kritikan, tapi menganggap kritikan itu adalah kejahatan, itu hak pribadi mereka. Mungkin kritikan itu membuat mereka tersinggung.
Tapi untuk menuntut pada ranah hukum, atau bahasa lainnya mengkriminalisasi orang yang mengritik, bagi saya pandangan bahwa kritikan adalah kejahatan akan luntur dengan sendirinya jika masyarakat betul-betul paham soal UU yang menjadi pembatas saat berbicara di depan publik, dalam hal ini kritikan itu tidak ada celah yang melanggar hukum. Juga kita jangan pernah luput dari tugas kekuasaan yang mesti menjaga keseimbangan tatanan politik.
Penting kita ketahui, syarat oposisi itu harus rasional, menggunakan akal sehat, minim kepentingan hasrat berkuasa, menyuarakan kehendak rakyat. Sebaliknya, oposisi yang tidak rasional, jargon kosong, hanya menghasut, penumpang gelap pada gelombang protes rakyat dan mahasiswa, gerakan kekuasaan tanpa basis perjuangan rakyat. Ini yang membedakan kritik yang sesungguhnya, dengan agitasi politik, yang dibarengi dengan kepentingan politik pihak tertentu.
Saya Paham, mungkin saja Bung Upy saat menulis Opini itu sedang dalam posisi mendukung para oposisi. Saya berasumsi seperti ini karena pada paragraf 10, Ia mengutip bahwa “Pada sistem demokrasi, oposisi kekuasaan mendapatkan tempat yang terhormat yang mesti dihargai, kritik dianggap sebagai bagian dari menyehatkan lembaga politik, kritik adalah stimulus dari luar agar sistem politik dapat berjalan dengan baik, kritik berfungsi untuk mereposisi jalannya sistem politik yang dianggap keluar dari jalur konstitusi”.
Di paragraf itu, kenapa sama sekali tidak menyampaikan sisi baik dari sebuah sistem kekuasaan?. Seolah-olah sebuah sistem kekuasaan akan baik jika penguasa mendengar kritikan dari para oposisi. Sedikit saja, coba kita memposisikan diri sebagai bagian dari kekuasaan. Dalam kondisi ini, memang baik jika mendengar kritikan dari para oposisi, karena itu menggambarkan lebih jernih segala kekurangan-kekurangan sistem. Tapi untuk mengambil keputusan, mesti mengedepankan kebaikan tatanan politik, dan harus mampu membedakan kritik dengan agitasi politik.
Dari sini kita bisa menilai, opini itu sedikit berpihak pada Oposisi, atau orang-orang yang melontarkan kritik terhadap Penguasa. Ini tidak salah, tapi semestinya tidak luput dari Posisi dan Wewenang Penguasa dalam suatu sistem, jug tidak luput membahas perspektif kekuasaan yang menjaga keseimbangan tatanan politik. Semua ini penting untuk disampaikan ke publik.
Dalam Negara Demokrasi, Sikap oposisi memang sangat dibutuhkan, tapi oposisi yang sesungguhnya, begitupun sikap penguasa dalam mengambil keputusan yang tepat juga sangat diperlukan tapi untuk kepentingan bersama. Bagi saya, semua itu tidak salah jika melakukannya dengan benar, dengan kata lain, tidak melanggar hukum yang ada, demi kestabilan tatanan politik negara.
Tinggalkan Balasan