Sang Insan Cita, Ichsan Firdaus, Selamat Jalan

Oleh Indra J Piliang

Sang Insan Cita Yang Masih Bercita-Cita

Terlambat. Dan sungguh saya menyesalinya. Ichsan Firdaus, berjarak usia lebih muda 5 tahun kurang 2 hari dengan saya, meninggal dunia. Ichsan meninggal mendadak, terkena serangan jantung, tatkala menyelesaikan kuliah doktoral di Universitas Gajah Mada.

Saya membaca untaian kalimat belasungkawa dalam akun facebook Bang Darul Siska, anggota DPR RI asal Sumatera Barat.

“Pertemuan dalam perjalanan pulang dari kegiatan Sidang Inter Parliamentary Uninion ke 144 di Bali, ternyata merupakan momen perjumpaan terakhir kami,” begitu yang ditulis Bang Darul.

Ichsan berpulang hari Minggu, tanggal 27 Maret 2022. Saya sedang tak membuka akun-akun media sosial, beristirahat. Baru Senin kemaren saya buka, termasuk media sosial. Dan tertumbuk pada posting Bang Darul.

Ingatan saya tentu melayang kepada tahun-tahun awal saya masuk Partai Golkar. Ketika saya ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pelaksana Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) DPP Partai Golkar tahun 2010-2014, Ichsan aktif di DPR RI sebagai Tim Ahli Fraksi Partai Golkar. Dua nama lain yang saya ingat adalah Mohammad Sarmudji dan Eka Sastra. Bagi saya, ketika sosok ini adalah Tree Musketeers

Kebetulan, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menugaskan kepada Bidang Kajian dan Kebijakan DPP Partai Golkar yang dikomandani Rizal Mallarangeng untuk menyusun Visi Negara Kesejahteraan 2045. Balitbang DPP Partai Golkar tentu terlibat penuh. Dokumen-dokumen di DPR-MPR RI sangat diperlukan, di samping tentu yang ada di lembaga pemerintahan. Saya ingat, betapa aktifnya para anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar menulis, baik dalam kepentingan ilmiah, ataupun sekadar berbagi informasi.

Tiga sosok ini berbagi bidang. Sarmudji untuk masalah-masalah yang terkait dengan bonus demografi, sosial dan kependudukan. Ichan untuk masalah yang lebih berbau aktivisme, termasuk lingkungan hidup, kelautan, dan kehutanan. Eka Sastra yang keren, segala sesuatu yang menyangkut ekonomi, termasuk keuangan.

Berpengalaman sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies, tentu saya punya hubungan baik dengan lembaga-lembaga penelitian dan kelompok think tank lain guna mendapatkan data. Freedom Institute dan Indonesian Institute adalah dua lembaga penelitian yang ikut “cawe-cawe”, tentu. Di samping mengandalkan para senior, kami lebih memilih anak-anak muda yang benar-benar fresh graduate dari kampus-kampus, terutama, luar negeri.

Ichsan memang pernah menjadi pimpinan pusan Himpunan Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Indonesia periode 1995-1997. Periode yang sama ketika saya menjadi Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Indonesia. Dalam bahasa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kami disebut sebagai Ikatan Organisasi Mahasiswa Sejenis (IOMS). Saya ingat, ketika sejumlah Sekjen IOMS ini bertemu dalam sebuah konferensi di Universitas Brawijaya, Malang. Ada foto saya dengan Sekjen Himpunan Mahasiswa Kelautan dan Perikanan yang berasal dari Universitas Hassanudin. Foto itu saya cetak besar-besar, berhubung warna jaket kami kontras: kuning vs merah.

Ichsan pun pengurus Himpunan Mahasiswa Islam, bahkan sampai ke tingkat Pengurus Besar. Sementara saya, bertahan sebagai HMI tingkat komisariat dan cabang, berpantang untuk naik lagi ke tingkat Badko dan Pengurus Besar terkait sikap fanatik saya dalam membela seorang kawan, Rifky Mochtar – kini di Kementerian Pemuda dan Olahraga RI.

Tentu, saya tak bisa menulis dalam dan detil tentang Ichsan, tanpa menghubungkan sama sekali dengan “jejak tapak” saya sendiri dalam alur cerita ini. Sebagaimana saya perlu sebut, Eka Sastra yang paling sering datang ke Perpustakaan CSIS di Jalan Tanah Abang III, ketika menjadi pengurus PB HMI. Eka barangkali junior di HMI yang paling duluan tak lagi takut kepada “hantu” dan “jin” yang diceritakan dari babak ke babak yang berada di Jalan Tenabang III Nomor 41 itu. Eka melalap buku-buku yang ada di perpustakaan CSIS yang saat itu adalah perpustakaan terbaik di Indonesia. Sedang Sarmudji, adalah pemimpin 15.000 orang pasukan (sedikit) berloreng kandang beringin, yakni menjadi Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Angkatan Muda Partai Golkar yang dipimpin Bang Yorrys Raweyai. Ahmed Zaki Iskandar adalah Bendahara Umum pasukan terlatih lewat training di Bumi Perkemahan Cibubur ini.

Singkat kata, nama Ichsan Firdaus tentu akrab bagi warga Kampung Ciasmara, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Ciasmara adalah kampung dari almarhum ibu mertua saya. Alhamarhum juga dikuburkan di Ciasmara. Area yang dikenal sebagai lokasi 1001 Curug itu adalah Daerah Pemilihan Ichsan Firdaus dan Airlangga Hartarto.

Saya sangat yakin, banyak keluarga meneteskan air mata, ketika mendengar Ichsan meninggal dunia dalam kondisi mendadak ini. Betapa tidak, Ichsan sering datang ke lapangan, murah hati, dan “pejalan malam”. Dalam tubuh HMI, tipe Ichsan adalah seorang instruktur yang mengendalikan seluruh rangkaian latihan kader. Tak banyak memegang toa untuk orasi, tetapi ketika berbicara dengan intonasi yang melebihi kaliber aktor-aktor kawakan lulusan akademi teater manapun. Tak ada yang tak terkesan dengan ucapapan Ichsan, pilihan diksi, hembusan nafas, sorot mata, dan “daya genggam” kepada siapapun yang mendengar.

Dan itulah, Ichsan adalah seorang perokok aktif. Saya tentu mengenal banyak sekali perokok aktif, termasuk almarhum ayah dan nenek saya. Pun saya sendiri. Namun, barangkali ada bedanya. Saya merokok di ruangan yang tak ada AC-nya. Ruang terbuka adalah kunci bagi seorang perokok. Sekilas lintas, saya juga baca bagaimana dukungan Ichsan terhadap dunia kretek dan tembakau Indonesia, sebagaimana saya juga lakukan.

Sungguh, saya harus merasakan kepedihan lagi, sebagaimana kehilangan Azwar Zulkarnaen yang meninggal setelah divonis kanker tingkat dewa. Azwar mempersiapkan diri dengan baik menghadapi ketiadaan harapan untuk hidup.

Ichsan?

Sedang berburu gelar akademik. Ia aktivis mahasiswa yang terlibat penuh dalam aksi reformasi Mei 1998. Ia ada di kancah “yang berlumpur itu’, yakni DPR RI dengan sejumlah posisi mentereng. Tapi ia tetap tunjukan sikap sebagai seorang instruktur atau mentor dalam pendidikan dan pelatihan mahasiswa: mengejar yang tak bisa dikejar, yakni ilmu pengetahuan. Dengan keyakinn penuh. Dengan usaha total.

Sungguh, Ichsan, maafkan keterlambatan saya membaca informasi terkait kepulanganmu ke alam yang penuh dengan orang-orang berilmu, trengginas, teguh pendirian, dan “pejalan malam” sepertimu. Kau sudah tapaki yang hendak dituju. Yakin Usaha Sampai…

Jakarta, pukul 02.04, 30 Maret 2022.

Komentar