PNS Eks Koruptor Dipecat, Apa Dasarnya?
TERASKATA.id, Palopo – Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berstatus sebagai terpidana Korupsi di Kota Palopo dikenakan sanksi Pembehrntian Dengan Tidak Hormat (PDTH).
Berdasarkan lampiran SK pemberhentian pembayaran gaji dan PTDH dengan nomor 800/394/BPSDM/VI/2019, setidaknya ada 19 orang yang dipecat dan tidak dihentikan pembayaran gajinya sejak Juni 2019 ini.
Karena tidak terima, akhirnya delapan diantara mereka mengadu ke DPRD Kota Palopo, Jumat 14 Juni 2019. Mereka mempertanyankan alasan pemberhentian gaji mereka. Sebab mereka mengaku belum menerima SK
pemecatan.
BACA JUGA : Godok Calon Ketua DPRD, Golkar Sulsel Sebut 3 Nama untuk Luwu Utara
“Kami belum terima secara resmi SK pemecatan, namun gaji kami telah dihentikan,” kata Juru bicara, Drs Gazali Rahmat, kepada
Anggota komisi I DPRD Palopo.
Gazali Rahmat mempertanyakan dasar hukum pemberhentian pembayaran gaji mereka. Ia mengklaim, PNS yang dipecat hanya
mereka yang divonis 2 tahun ke atas dan tidak berlaku surut. Bahkan beberapa diantaranya menilai ada kesan tebang pilih dalam
penerapan pemberhentian gaji bagi mereka.
”Kami ini yang dipecat, ada yang telah pensiun, bahkan yang telah meninggal, juga dihentikan gaji pensiunnya yang selama ini
diterima istri dan anak-anak almarhum,” jelas Gazali, eks PNS Disdik Palopo ini tersebut.
Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Palopo, Bakri Tahir, mengatakan, aturan pemberhentian PNS Eks Napi Korupsi itu, memang perlu
diperjelas. Sebab menurutnya, dari penjelasan Prof Mahfud, disebutkan aturan pemecatan PNS mantan terpidana kasus korupsi tak
berlaku surut.
“Kemudian, dalam Pasal 87, UU ASN nomor 5 tahun 2014, mereka yang dipecat, hanya vonis berkekuatan tetap atau
inkrah 2 tahun ke atas,” tandasnya.
Mereka yang datang ke DPRD itu, ada yang kasus 10 tahun lalu, yang rata-rata vonis di bawah 2 tahun, bahkan ada yang vonis 3
dan 5 tahun.
BACA JUGA : Akreditasi B, Unanda Target Miliki 70 Doktor
Sementara itu, berdasarkan penelusuran teraskata.id, pada April 2019 lalu Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan secara tidak hormat.
Putusan itu menjawab gugatan dari PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Hendrik yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada 2012. Hendrik menggugat pasal 87 ayat (4) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut hakim MK, pemberhentian merupakan hal wajar lantaran perbuatan yang dilakukan telah menyalahgunakan bahkan mengkhianati jabatan sebagai ASN.
”Seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana secara langsung atau tidak, telah mengkhianati rakyat karena menghambat tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya,” ujar hakim seperti dikutip dalam laman putusan MK.
Pasal 87 ayat (4) huruf b berisi: PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Hakim bersikukuh, pemberhentian PNS koruptor tetap harus dilakukan lantaran yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
”Sumpah untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar formalitas tanpa makna melainkan sesuatu yang fundamental,” katanya.
Berbeda dengan kasus tindak pidana umum. PNS bisa saja tidak dipecat melainkan diberikan pembinaan. Sebagaimana MK telah menghapus frasa ‘dan/atau pidana umum’ pada pasal 87 ayat (4) huruf b tersebut.
BACA JUGA : Jadi Relawan Kemanusiaan Harus Sabar
Menurut hakim, frasa tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 87 ayat (2) yang mengatur PNS dapat diberhentikan atau tidak karena dihukum penjara berdasar putusan pengadilan yang telah inkrah karena melakukan tindak pidana dengan hukuman paling singkat dua tahun penjara dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
“Norma pasal 87 ayat (4) huruf b tidak memberi kepastian hukum dan membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama,” terang hakim.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, menyebutkan bahwa negara telah dirugikan karena menggaji PNS yang telah dipidana korupsi.
BACA JUGA : DPR RI Perjuangkan Rp9 Triliun untuk Kementerian Desa
”Ketika ada PNS korupsi yang sudah dipidana masih menjadi PNS, itu artinya setiap bulan negara juga dirugikan karena harus tetap menggaji mereka yang korupsi,” kata dia, dalam diskusi ‘Teguh Membangun Pemerintahan yang Bersih dan Modern’ di Kantor Staf Kepresidenan, Gedung Bina Graha, Jakarta, Rabu (27/3) lalu seperti dikutp dari laman CNN Indonesia.
Adnan mendorong pemerintah mengubah aturan sanksi bagi PNS yang sudah terbukti korupsi. Ia menilai sampai saat korupsi belum dianggap tindakan yang berisiko.
“Kalau mau sebenernya diubah, mau Rp10 juta mau Rp5 juta, itu korupsi, itu maling, itu harus dipecat. Enggak ada jalan lain. Oleh karena itu bagaimana mempermudah PNS itu dipecat. Sehingga ada resiko besar bagi mereka,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan negara menelan kerugian lebih besar karena membayar gaji PNS terpidana korupsi yang seharusnya sudah diberhentikan. (*)
Tinggalkan Balasan