TERASKATA.COM – Tidak ada orang terlahir sebagai pemarah. Orang yang senantiasa marah adalah budak dari kemarahan itu sendiri.
Kita harus menyadari, bahwa rasa marah senantiasa menghiasi kehidupan. Kemarahan itu ada dalam hati kita sehingga kita tidak dapat lari daripadanya. Kemarahan hanya akan mengungkap kelemahan kita.
Kemarahan sesungguhnya hanya menimbulkan kerugian bagi kita dan bagi hubungan kita dengan sesama. Pada saat kita marah, kita dapat mengontrol orang lain, namun sesudahnya kita akan dihindari dan dipandang negatif.
Orang lain akan menjaga jarak dengan kita, hubungan kita akan menjadi tegang, rentan, dan tidak sehat sehinga secara perlahan-lahan relasi itu akan hilang. Menyakitkan memang ketika menjadi sasaran luapan emosional orang lain. Untuk itu kita harus menghadapinya dan mengolahnya.
Ketika kita marah, kita cenderung melakukan sesuatu yang keliru. Bukanya meredakan masalah tetapi malah semakin memperparah keadaan. Ketika kita dapat mengolah rasa marah, maka kita akan memiliki relasi yang sehat dengan sesama dan hidup akan jauh lebih berarti, membahagiakan serta sungguh mampu untuk dinikmati.
Kemarahan bukanlah akar dari permasalahan tetapi ia adalah efek yang ditimbulkan oleh permasalahan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, sebenarnya marah itu adalah suatu pilihan dan bukan keharusan.
- Dua Wajah Kemarahan
Kemarahan tidak buruk. Di dalam dirinya kemarahan memiliki sisi positif dan negatif. Kemarahan adalah tanda bahwa sesuatu itu tidak nyaman, salah, dan tidak diinginkan. Kemarahan netral secara moral, tidak baik dan tidak buruk, tetapi secara sederhana merupakan emosi, perasaan. Kemarahan dapat menjadi sesuatu yang memotivasi, menolong, dan membangun, tetapi ia juga dapat menjadi sesuatu yang menghancurkan, membahayakan, dan merusak. Tujuan dasar dari kemarahan adalah melindungi dan memelihara. Ketika kita merasa terancam, baik secara fisik maupun emosional, kemarahan mengaktifkan naluri bertahan kita. - Perlu Marah
Kemarahan adalah emosi pemberian Allah. Banyak alasan yang membuat seseorang menjadi marah. Marah tidak selamanya buruk, tetapi kadang hal itu sangat dibutuhkan. Marah baik, jika hal itu dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran dan ketegasan. Dengan marah kita mengungkapkan isi hati dan tidak hanya sekedar menyenangkan orang lain. Orang yang menggangap marah adalah suatu kesalahan menekan perasaannya dalam dalam. Seseorang yang takut marah mungkin takut ditolak, kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang lain. - Tipe-Tipe Orang Menghadapi Kemarahan
Cara kita merespon kemarahan dipengaruhi oleh kepribadian, keadaan, budaya, gender, usia, dan pengalaman. Semakin matang usia, semakin maju peradaban manusia, semakin tinggi pengetahuan, dan semakin banyak pengalaman seseorang, maka ia akan semakin mampu mengungkapkan perasaan marahnya.
Ada orang yang mengungkapkannya dengan penuh ekspresif, ada juga yang mampu memendam dan menyembunyikannya, serta ada yang mengekspresikannya dengan cara mengalihkan pada hal yang lain. Memendam kemarahan dapat menggangu kesehatan seseorang. Kemarahan yang tidak terekspresikan sering kembali kepada diri sendiri dan dapat dengan mudah berubah menjadi ketersinggungan batin dan membenci diri. Luka itu bernanah dalam diri dan tidak kunjung menghilang. Dengan mengubur perasaan tersebut, kita meracuni jiwa kita sendiri.
Seorang pembocor akan melakukan hal-hal yang menggangu dan membuat tidak nyaman agar dapat melukai seseorang seperti halnya ia dilukai olehnya. Namun ia tidak akan pernah memberi tahu bagaimana perasaanya yang sesungguhnya.
Mengungkapkannya dengan cara-cara yang samar. Daripada menungkapkan kemarahanya, ia memilih menyebarkan kemarahannya di sekeliling orang lain. Memfitnah, mengosip, dan menyebarkan hoax. Ketiganya sama-sama berbahaya.
- Bagaimana Seharusnya Bersikap
Terhadap Kemarahan
Kemarahan perlu diungkapkan pada saat yang tepat, melalui cara yang tepat, untuk tujuan yang benar dalam intensitas yang benar, dan dalam rentang waktu yang benar pula. Kemarahan itu boleh, yang penting adalah cara kita marah. Kita perlu menggendalikannya, bukannya justru menggunakan kemarahan itu untuk menggendalikan orang lain.
Akui bahwa kita marah, jangan meyangkalnya dan memendamnya; akui, terima, dan kenali kemarahan tersebut. Setelah menyadari dan menerima bahwa kita marah, mari kita melihat ke belakang apakah yang menyebabkan kemarahan itu. Mari menyadari mengapa kita harus marah dan apakah yang sesungguhnya kita rasakan sehingga kita marah. Apakah karena cemburu, takut, malu, ditolak, gagal, gelisah, putus asa, dll. Selain menyadari hal itu, kita juga menemukan cara untuk mengungkapkan kemarahan kita dengan tepat dan benar. Usaha tersebut membutuhkan ketajaman dan kebijaksaan.
Ketika kita marah, kita harus bertanya kepada siapakah saya harus marah. Harus tepat sasaran, jangan sampai orang lain yang tidak bersalah memperoleh imbas kemarahan kita. Ketika mengetahui tujuan kemarahan, kita harus memikirkan cara mengungkapkan kemarahan. Jangan sampai kemarahan tersebut meluap dan merusak banyak hal. Sebelum memuntahkan kemarahan itu, mari sekali lagi bertanya dalam hati apakah memang kita butuh marah. Seberapa besarkah dan seberapa seringkah ia melakukannya sehingga kita harus marah.
Ketika kita marah terhadap orang lain, alangkah baik jika kita dapat bertemu dan menyampaikannya secara lansung. Dengan demikian kita bisa berbicara dengan jelas. Duduk perkara dapat diketahui dengan baik. Kedua belah pihak dapat saling menggapi, menjelaskan keselahpahaman yang terjadi, dan memberi jawaban. Kita tidak menerka-nerka tetapi dengan jelas mengetahui duduk perkaranya. Adalah bijak untuk menempatkan diri kita di posisi orang lain.
- Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik
Butuh keberanian untuk memberitahukan kepada orang lain perasaan kita, ketika merasa terluka. Terbuka akan isi hati dan persoalan pribadi. Selain itu, kita perlu membawa luka itu kepada Allah. Marilah kita belajar mengkomunikasikan berbagai persoalan dalam hati di tempat yang aman, dengan cara-cara yang tidak mengancam dan jelas.
Buatlah target yang realistis, agar ketika kita tidak bisa mencapainya kita tidak menjadi kecewa. Ingatlah, masalnya bukan kemarahan, melainkan luka dan frustasi dari kebutuhan dan harapan yang tidak terpenuhi. Jauhkan kata-kata mestinya, harusnya, harus, selalu, dan tidak pernah dari kamus harian kita. (mg1/ams)
Komentar