Dibalik Penetapan Hari Santri Nasional, dari 1 Muharram jadi 22 Oktober

TERASKATA.id, Empat tahun silam, Keppres No 22/2015 tentang Hari Santri Nasional (HSN) telah ditandatangani dan dibaca langsung oleh Presiden Joko Widodo di masjid Istiqlal Jakarta.

Awalnya penetapan HSN telah mengemuka ketika Jokowi masih menjadi calon presiden saat bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Babussalam di Malang Jawa Timur, Jum’at (27/06/2014).

Saat itu Ia berjanji untuk memperjuangkan penetapan Hari Santri berdasarkan permintaan dari pimpinan Pondok Pesantren Babussalam KH Thoriq Darwis. Kunjungan saat itu diakhiri dengan penandatanganan surat perjanjian penyanggupan penetapan HSN pada 1 Muharram yang disaksikan oleh tim kampanye Jokowi dan segenap jajaran kyai dan ulama Ponpes Babussalam.

Jokowi mendukung rencana penetapan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional tersebut, karena menurutnya merupakan salah satu bukti apresiasi terhadap kearifan nasional,

“ Santri adalah kearifan lokal. Jadi, kalau kita buat penetapan Hari Santri Nasional, berarti itu menunjukkan bahwa kita telah memberikan penghargaan yang lebih tinggi terhadap santri, yakni menjadi kearifan nasional, ” kata Jokowi dikutip antaranews.com, Minggu (29/06/2014).

Hari Santri awalnya mengambil momentum 1 Muharram bersamaan dengan Tahun Baru Hijriah, tetapi kemudian bergeser menjadi 22 Oktober bukan 1 Muharram seperti saat pertama kali diwacanakan.

Penetapan 22 Oktober sebagai HSN merupakan hasil musyawarah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama 12 Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI). Sehingga 22 Oktober 2015 merupakan peringatan Hari Santri Nasional pertama.

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa 22 Oktober sebagai HSN karena mempresentasikan subtansi kesantrian. Yakni, spritualitas dan patriotisme ketika KH Hasyim Asyari mengumumkan fatwa Resolusi Jihad merespons agresi Belanda Kedua.

Resolusi Jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Karenanya, atas pertimbangan itu, penetapan HSN pada tanggal 22 Oktober menurutnya tepat karena mengandung muatan historis yang sangat heroik dan monumental perjalanan sejarah bangsa khususnya bagi kalangan Santri Indonesia.

Sementara itu Menurut Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (PP RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien setidaknya terdapat tiga alasan pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional.

Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945

Peristiwa tersebut adalah deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945.

Pada hari itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada para santrinya untuk ikut berjuang untuk mencegah tentara Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada santrinya bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

“Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu,” ujar KH Hasyim Asy’ari.

KH Hasyim Asy’ari, penyeru Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 ialah cikal bakal Hari Santri Nasional. Seruan jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy’ari ini membakar semangat para santri di kawasan Surabaya dan sekitarnya.

Mereka kemudian bergabung dengan tentara Indonesia untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Serangan ini rupanya terjadi selama tiga hari berturut-turut, yaitu dari tanggal 27 hingga 29 Oktober 1945.

Jenderal Mallaby pun tewas keesokan harinya pada 30 Oktober 1945. Saat itu mobil yang ditumpanginya terkena ledakan bom dari para pejuang Tanah Air di kawasan Jembatan Merah, Surabaya.

Kematian Mallaby pun menyulut pertempuran berdarah lainnya di kota Surabaya, yakni Pertempuran 10 November 1945.

Resolusi Jihad yang dideklarasikan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 ini seolah mengingatkan kita mengenai peranan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Santri yang kerap dikenal berkutat seputar urusan agama, ternyata mau ikut berjuang bersama pejuang Tanah Air.

Kedua, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kyai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936.

Para kyai dan santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa

Ketiga, kelompok santri dan kyai-kyai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para kyai dan santri selalu berada di garda terdepan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan.

Oleh karenanya, tak salah apabila Presiden Jokowi kemudian memilih tanggal ini sebagai Hari Santri Nasional.

Selamat Hari Santri Nasional, Bersama Santri Damailah Negeri.(*)

Komentar