Pertontonkan Tersangka, Dosen Hukum Unanda Nilai Polres Palopo Abaikan Asas Praduga tak Bersalah
TERASKATA.com, Palopo – Konferensi pers yang digelar Polres Palopo terkait penetapan tersangka kasus korupsi menuai kritikan.
Salah satunya datang dari dosen hukum Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo, Dr Abdul Rahman SH MH.
Dalam rilis yang diterima teraskata.com, Rabu (27/01/21), Maman sapaan akrabnya menilai, Polres Palopo selaku penegak hukum di wilayah Kota Palopo mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Dia menerangkan, seorang tersangka dalam hukum acara pidana belum tentu dianggap bersalah sepanjang belum dibuktikan di pengadilan.
Mantan Wakil Dekan Fakultas Hukum ini yang juga saat ini menjadi Dewan Kehutanan Nasional Mengatakan, dalam penindakan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang membutuhkan ketegasan.
“Namun sebuah ketegasan dalam pemberantasan Tipikor tidak kemudian melanggar asas praduga tak bersalah yang sudah menjadi prinsip universal dalam penanganan tindak pidana di dunia,” tegasnya.
Maman berpendapat, mempertontonkan para tersangka di muka umum saat mengumumkan penetapan tersangka perkara korupsi di Polres Palopo berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Penetapan seseorang sebagai tersangka, belum bisa dipastikan tersangka itu bersalah,” katanya.
Ia menjelaskan, penetapan tersangka merupakan rangkaian proses hukum pidana yang belum menjatuhkan seseorang bersalah atau tidak.
Meskipun setelah putusan pengadilan tingkat pertama menjatuhkan pidana bersalah, tersangka yang sudah menjadi terdakwa dan terpidana masih memiliki upaya hukum hingga tingkat kasasi, dan peninjauan Kembali (PK).
Apalagi kita punya asas pidana dalam KUHAP yang menyatakan seseorang yang belum dijatuhi hukuman oleh hakim berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, wajib dianggap tidak bersalah. Tetapi dengan memajang sama dengan menghukum,” kata dia.
Bila di media massa menampilkan tersangka atau terdakwa, diberi label hitam di bagian mata tujuannya agar tersamar, penulisan nama pun dengan singkatan atau insial. Pola seperti dipandang menghargai hak asasi seorang tersangka. Lain hal ketika tersangka tertangkap tangan bersama barang buktinya.
“Meski dengan mempertontonkan tersangka sebenarnya tingkat kejahatan tidak berkurang, apalagi korupsi, mempertontonkan tersangka sejak awal sama dengan menghukumnya.” tambah Maman.
Dia mengingatkan, Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah menjelaskan jenis hukuman pidana pokok atau tambahan berupa pengumuman putusan hakim.
Artinya, publikasi nama dan orang maupun jenis hukumannya masuk dalam kategori penghukuman. Karena itu, mempertontonkan tersangka sejak awal sama halnya melanggar asas praduga tak bersalah.
“Kalau misal tersangkanya terjaring operasi tangkap tangan, maka sah-sah saja sebagai bagian dari menunjukan bukti penangkapan dan tersangkanya,” ujarnya.
Gaya Polres Palopo ini mengalahkan gaya KPK saat jumpa pers penetapan tersangka, KPK saja menghadirkan tersangka dengan membelakangi media.
Maman malah mempertanyakan keseriusan Polisi dalam menangani kasus yang menimpah masyarakat ini, karena menurutnya kegiatan NUSP adalah kegiatan swakelola sama dengan kegiatan padat karya. Di mana banyak pelaku program yang terlibat disana.
“Kenapa mesti hanya masyarakat yang menjadi korban, sementara dalam pengakuan tersangka sangat gamblang disebutkan oknum-oknum yang diduga terlibat dalam kasus ini,” tambahnya.
Lain lagi penerapan pasal yang diterapkan kepada para tersangka yakni memasukan Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
“Ini yang tidak dipahami oleh penyidik bahwa penerapan pasal ini apabila dalam pelaksanaan peristiwa pidana dilakukan oleh beberapa pelaku, tidak bisa diterapkan kalau hanya satu tersangka saja,” tutup Maman.(*/lia)
Tinggalkan Balasan