Malkan Keayo Bouw Dikukuhkan Sebagai Tokoi Rato Salumaoge, Bangkit Kembali Setelah 400 Tahun

Sejarawan Luwu Timur Musli Anwar mengatakan, prosesi pengukuhan Tokoi Rato Salumaoge Pamona sempat hilang selama 400 tahun.

Kini dapat bangkit kembali guna mengangkat kebudayaan dan mempersatukan kembali komunitas adat yang dipisahkan oleh wilayah administrasi.

“Penobatan tokoh Rato Salumaoge ini baru terjadi lagi setelah 400 tahun silam, di mana Rato adalah peradaban tua yang mempertemukan 2 etnis yang berbeda antara Pamona dan Wotu yang kemudian leluhurnya menyebar ke daerah Sulawesi Tengah,” tutur Musli.

Musli menambahkan bahwa adat kebiasaan sejak zaman leluhur mereka hingga kini masih lestari tentang bagaimana tatanan adat itu berjalan.

“Pengukuhan Tokoi Rato ini akan membangkitkan kembali persaudaraan antara orang-orang Rato Pamona pada umumnya dengan orang Wotu, meski secara administratif kabupaten dan provinsi sudah dipisahkan, namun hubungan emosiaonal persaudaraan tetap sebagai bagian dari keluarga besar Tana Luwu,” tambah Musli.

Proses Pengukuhan Tokoi Rato Salumaoge

Proses pengambilan sumpah dilakukan secara adat istiadat Kerajaan Luwu dengan cara yang sakral.

Diawali dengan menjemput rombongan kedatangan Datu Luwu dan permaisurinya bersama pemangku adat anak tellue dan anak seppulo dua.

Rombongan adat disambut dengan dua tarian penyambutan yaitu Tari Motaro dengan lagu Pedongeka, kemudian tarian kedua Moendentua.

Di depan rombongan, terdapat pembawa payung kuning yang di belakangnya adalah Pua Macoa Bawalipu bersama permaisurinya yang dinaungi dengan Lellung warna kuning disertai dewan adat Pangadarra Sepulo Pitu.

Datu dan permaisurinya diusung menggunakan usungan yang disebut dengan buleang dan dinaungi kain warna merah atau disebut lellung, kemudian di belakangnya terdapat payung merah atau Pajung Maejae yang dinamakan rombongan Dewan Adat Seppulo Dua.

Komentar