Opini: Apa Kabar Tambang Siguntu?
Oleh: Muhammad Aksa SH – Aktivis
Negara wajib hadir dalam menjamin pemenuhan hak setiap warganya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 28 H ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, lebih lanjut kemudian dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH) untuk memperkuat perencanaan dan penegakan hukum lingkungan sekaligus memberikan perlindungan terhadap rakyat dari kerusakan lingkungan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Namun sampai saat ini, keberadaan aturan tersebut belum memberikan kontribusi nyata untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman kerusakan lingkungan.
Lemahnya implementasi UUPPLH ini kemudian turut berkontribusi terhadap kejadian bencana alam di Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun. Misalnya banjir bandang yang merendam 5 Kabupaten/Kota yaitu Kab. Jeneponto, Kab. Gowa, Kota Makassar, dan Kab. Maros.
Semuanya itu disebabkan karena ketidaksiapan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di daerah dalam upaya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Sumber – Catatan Akhir Tahun 2019 Wahana lingkungan Hidup (WALHI).
Sebagai contoh kasus penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah hulu sungai Latuppa yang masuk kawasan hutan Negara yang berfungsi lindung, sangat berpotensi besar merusak ekosistem yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, aktivitas tersebut bisa saja mencemari sungai yang berdampak langsung pada kualitas air baku sebagai sumber bagi pasokan distribusi Air PDAM Tirta Mangkaluku untuk melayani masyarakat kota Palopo dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.
Penambangan emas ilegal dalam bentuk pengambilan material bebatuan, dengan lokasi kegiatan berada pada titik kordinat LS : 03° 02′ 04.0” BT : 120° 06′ 09.8″ E 120° 02′ 08.50″, menurut informasi masyarakat telah berlangsung cukup lama, dan telah mendapat teguran dari Dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan melalui UPT KPH Latimojong yang telah bersurat secara langsung kepada oknum yang diduga bertugas sebagai Fasilitator dalam mengkordinir masyarakat setempat untuk diberdayakan sebagai pekerja.
Sampai sekarang kasus ini belum menemukan titik terang terkait proses hukum yang berjalan, kita belum mendengar dari para penegak hukum untuk mengungkap dengan terang siapa oknum dibalik kasus ini untuk bertanggung jawab secara hukum. ini semakin mengindikasikan tentang keberpihakan penegak hukum dalam memproses kasus tersebut.

Menjadi patron pelindung masyarakat demi keadilan hanyalah slogan, yang justru nampak malah terlihat sebagai pelindung para pelaku perusak linkungan. Fenomena ini sangat kontraproduktif bagi penegak hukum dalam memperbaiki citra mereka. Sebaliknya, hal ini akan memperburuk nama baik dan reputasi institusi mereka.
Tinggalkan Balasan