OPINI: Aufklarung dalam Mitologi Desa

Oleh : Indra J. Piliang
(Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara)

Renaissance di Eropa dimulai pada abad ke-14. Pengaruh renaissance berlangsung dari abad ke-14 hingga abad ke-17.

Dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan saat itu, capaian renaissance sama sekali berbeda-beda pada masing-masing wilayah. Renaissance berlangsung dalam waktu yang tidak bersamaan. Bahasa alias linguistik sama sekali bukan medium utama dalam menyampaikan renaissance. Lukisan, seninpatung, pun arkeologi, adalah perantara yang banyak mendapatkan pengaruh/perhatian. Harga karya lukis abad itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan syair-syair atau buku. Lukisan Leonardo da Vinci, misalnya, hingga kini tetap menjadi inspirasi para penulis.

Mitologi Yunani Kuno berkembang justru setelah era renaissance berakhir, yakni sekitar abad ke-18. Masa yang umum dikenal sebagai aufklarung. Penggalian filsafat Yunani Kuno dilakukan lewat kajian-kajian psiko-analisa dan perbandingan dalam ranah teologi. Sastra dan seni menjadi altar, sekaligus batang-batang sungai tempat mengalirnya ilmu pengetahuan baru. Lambat-laun, segala yang berbau Yunani dicarikan padanan lokal oleh para seniman, cendekiawan ataupun intelektual. Yang digunakan adalah metodologi berpikir, bukan hasil yang didapat.

Identitas-identitas yang berkembang menjadi nation. Identitas itu mampu digali, terutama di Britannia Raya, Jerman, hingga Perancis dan Russia. Filsafat Yunani hanya pintu masuk bagi aliran pemikiran yang lain. Ibarat sumur yang sudah berhasil digali, lalu memuncratkan air, ternyata mengalir ke ranah yang lain. Saling-silang pengaruh terjadi dengan sendirinya. Eropa sama sekali tak menjadi duplikat dari Yunani Kuno,

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu cepat berhasil melahirkan revolusi industri. Industrialisasi membutuhkan sumber-sumber energi yang didapatkan di negeri-negeri jajahan. Namun, lambat laun, revolusi industri menumbuhkan jarak antara kaum feodal (pemilik tanah), teolog (pemimpin agama) dan monarki (bangsawan), dengan kalangan borjuis yang kaya raya akibat penjelajahan dunia. Kalangan borjuis merasa hanya sebagai “budak ekonomi”. Mereka memiliki kekayaan, bahkan menemukan dunia baru. Namun, ketika kembali ke tanah asal, mereka bukan bagian dari strata sosial yang tinggi. Mereka bukanlah kelas penguasa.

Revolusi industri berubah menjadi revolusi sosial-politik. Demokrasi adalah salah satu pemikiran yang langsung berkembang dengan pesat. Demokrasi yang bersinggungan dengan nasionalisme. Ibarat lahan yang disirami hujan, pemikiran tentang demokrasi dan nasionalisme ini berbuah kepada pembentukan nation-state. Nation yang berdiri kokoh dalam ceruk national identity yang lain. Negara-negara merdeka baru yang kecil-kecil lahir. Negara-negara kecil yang hari ini justru kesulitan dalam membangun kinerja sebagai negara merdeka. Pertarungan antara Uni Eropa melawan nation-state masih menjadi wajah Eropa hari ini.

Bagaimana dengan Indonesia setelah 74 tahun merdeka? National and character building apa sudah selesai? Local identity, etnisitas, dan beragam bentuk oligarki local apa sudah mengalami rasionalisasi?

Kenapa Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Baswedan jauh lebih penting dibahas, ketimbang pemimpin daerah lain? Padahal Jakarta memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang luar biasa. Begitu juga Produk Domestik Bruto (PDB) Jakarta masih yang terbesar di Indonesia.

Bagaimana dengan kiprah Victor Laiskodat, Gubernur Nusa tenggara Timur atau Zulkieflimansyah, Gubernur Nusa Tenggara Barat? Begitu juga dengan kinerja pimpinan daerah di Papua yang masih mengalirkan darah konflik sampai kini.

Apakah Kejakartaan dan Keindonesiaan saling berseberangan? Atau justru mampu bekerjasama?

Sikap nyinyir yang terus-menerus atas posisi Anies Baswedan adalah bentuk pemiuhan atas potensi kepemimpinan lain yang berada di ranah lokal. Lokal, dalam artian provinsi, kabupaten dan kota. Terdapat lebih dari limaratus kepala daerah yang bisa dilongok kiprah mereka.

Dalam sejumlah edisi khusus, terdapat penghargaan kepada kepala-kepala daerah yang dianggap mumpuni. Hanya saja, publik nasional sama sekali masih minim informasi yang bersifat menyeluruh atas daerah-daerah dimaksud.

Jangan-jangan, revolusi atau evolusi dalam demokrasi sama sekali belum selesai. Subjektivitas dalam bentuk politik identitas masih tebal menguasai limbik pikiran produsen ide di tingkat nasional. Bias Jakarta sebagai ibukota negara terasa melekat. Kemerdekaan belum berhasil membebaskan tindasan dalam bentuk lain. Nusantara masih berupa koloni bagi Jakarta, seperti Amerika Serikat bagi negara-negara Eropa pada abad ke 18.

Pada saat kenasionalan dan kelokalan belum menunjukkan tanda saling mempererat dan bersahabat, kini muncul pedesaan sebagai identitas baru. Pedesaan yang merupakan wadah dari bentuk asli demokrasi di Indonesia, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Hatta, mulai berkecambah sebagai identitas yang kuat.

Dalam sejumlah peristiwa belakangan, desa mulai menjadi entitas yang utama, puncak, sekaligus terisolir. Entitas sebagai warga desa lebih diprioritaskan ketimbang entitas warga negara. Persaingan antar warga desa sedang dimulai, baik dalam wujud yang positif ataupun negatif. Dalam kasus-kasus yang mencuat, entitas negara dengan segala simbolnya, beberapa mulai tenggelam atau disingkirkan dalam area pedesaan atau distrik. Pembunuhan satu keluarga yang tinggal di pedesaan kini semakin sering masuk statistik kejahatan. Aparatur negara, baik sipil atau militer, juga menjadi korban di area pedesaan. Tangan negara terlihat lemah di pedesaan.

Negara, daerah (lokalitas) dan desa adalah entitas segitiga yang tampak di permukaan. Ketiganya saling berebut pengaruh. Perayaan yang terjadi bukan hanya berupa pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, melainkan juga pemilihan langsung kepala daerah, dan pemilihan langsung kepala desa. Seluruh warga negara, warga daerah dan warga desa terlibat dalam proses itu. Warga yang sama, bukan warga yang berbeda.

Dibandingkan dengan Eropa yang pernah mengalami renaissance, Indonesia sama sekali belum pernah menggapainya. Muhammad Yamin adalah tokoh yang rajin melakukan penelusuran atas mitologi keindonesiaan itu. Yamin bahkan menggalinya sampai ke abad-abad silam. Abad ke-13 dijadikan Yamin sebagai dasar dari pembentukan Sang Saka Merah Putih. Buku “600 Tahun Sang Merah Putih” yang ditulis Yamin, berasal dari bendera yang dibawa pasukan Kediri, dalam menghadapi Singosari. Sayangnya, karya Yamin itu sama sekali tak ditindak-lanjuti. Padahal, karya itu jauh dari selesai.

Yamin menggunakan temuan-temuan arkeologi, linguistik, hingga berjenis hewan dan tumbuhan dalam menjawab masalah-masalah nasionalisme. Ketika menyelesaikan buku itu, Yamin sedang berada di daratan Eropa sebagai dutabesar. Yamin sudah jauh dari Indonesia. Sementara, gejolak-gejolak baru mulai muncul justru di dalam negeri. Sejumlah pemberotakan terjadi atas nama daerah. Masalah-masalah yang dibawa oleh kaum pemberontak itu – yang notabene adalah anak-anak bangsa yang berpendidikan tinggi – sama sekali belum masuk ke dalam pemikiran Yamin. Generasi Yamin tak selesai dalam menggali mitologi Indonesia yang mampu menyambung pulau demi pulau, selain hanya menonjolkan aspek titian zamrud khatulistiwanya.

Kini? Agenda lain sudah datang. Yakni, bagaimana menggali mitologi pedesaan di Indonesia. Mitologi yang berjumlah begitu banyak, bahkan melebihi jumlah desa di Indonesia. Masing-masing desa menyimpan mitologinya sendiri. Mitos adalah tempat nenek moyang menyimpan ilmu pengetahuan dan sains. Apabila mitologi ini tidak digali, lalu ditempatkan dalam semacam Museum Mitologi Indonesia, pertanda masa depan bakal kehilangan sumber-sumber dari wajah “demokrasi asli” seperti yang dilabelkan Hatta. Para pendiri bangsa sama sekali tak berani membuat struktur yang seragam atas entitas yang bernama desa.

Mitologi di pedesaan ini adalah sumber dari ilmu pengetahuan dan sains yang bisa ditelusuri dengan baik. Pun sebagai bagian dari filsafat keindonesiaan yang masih hidup hingga hari ini. Dengan revolusi 4.0 yang terjadi hari ini, mitologi pedesaan ini bisa remuk. Mesin-mesin kemajuan industri dan teknologi bakal melumatnya. Padahal, dibalik wajahnya yang sering dilecehkan sebagai “wong ndeso” atau “kampungan” dan julukan lain, desa adalah benteng pertahanan pertama dalam menghadang sesuatu yang berwujud asing.

Jangan sampai negara, daerah dan desa menjadi segitiga peperangan antar nilai, ideologi dan filsafat yang membentuknya. Di masa depan, apa yang kemudian terjadi? Mana yang kemudian menjadi hancur? Apakah negara, daerah atau desa? Atau sekaligus ketiganya, ketika mayoritas para penyelelia pemikiran masih berkutat kepada agenda-agenda jangka pendek seperti siapa yang layak memimpin dalam lima tahun mendatang?

Bukanklah lebih baik jika yang terjadi adalah negara merangkul desa? Daerah menyulam negara? Desa merekat daerah? Negara adalah anyaman dari desa-desa mandiri?

Aufklarung atau renaissance di Eropa dimulai pada abad ke-14. Pengaruh aufklarung berlangsung dari abad ke-14 hingga abad ke-17.


Dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan saat itu, pengaruh aufklarung sama sekali berbeda-beda. Aufklarung berlangsung dalam waktu yang tidak bersamaan. Bahasa alias linguistik sama sekali bukan medium utama dalam menyampaikan aufklarung. Lukisan, pun arkeologi, adalah perantara yang banyak mendapatkan pengaruh/perhatian. Harga karya lukis abad itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan syair-syair atau buku. Lukisan Leonardo da Vinci, misalnya, hingga kini tetap menjadi inspirasi para penulis.

Mitologi Yunani Kuno berkembang justru setelah era renaissance berakhir, yakni sekitar abad ke-18. Penggalian filsafat Yunani Kuno dilakukan lewat kajian-kajian psiko-analisa dan perbandingan dalam ranah teologi. Sastra dan seni menjadi altar, sekaligus batang-batang sungai tempat mengalirnya ilmu pengetahuan baru. Lambat-laun, segala yang berbau Yunani dicarikan padanan lokal oleh para seniman, cendekiawan ataupun intelektual. Yang digunakan adalah metodologi berpikir, bukan hasil yang didapat.

Identitas-identitas yang berkembang menjadi nation. Identitas itu mampu digali, terutama di Britannia Raya, Jerman, hingga Perancis dan Russia. Filsafat Yunani hanya pintu masuk bagi aliran pemikiran yang lain. Ibarat sumur yang sudah berhasil digali, lalu memuncratkan air, ternyata mengalir ke ranah yang lain. Saling-silang pengaruh terjadi dengan sendirinya. Eropa sama sekali tak menjadi duplikat dari Yunani Kuno,

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu cepat berhasil melahirkan revolusi industri. Industrialisasi membutuhkan sumber-sumber energi yang didapatkan di negeri-negeri jajahan. Namun, lambat laun, revolusi industri menumbuhkan jarak antara kaum feodal (pemilik tanah), teolog (pemimpin agama) dan monarki (bangsawan), dengan kalangan borjuis yang kaya raya akibat penjelajahan dunia. Kalangan borjuis merasa hanya sebagai “budak ekonomi”. Mereka memiliki kekayaan, bahkan menemukan dunia baru. Namun, ketika kembali ke tanah asal, mereka bukan bagian dari strata sosial yang tinggi. Mereka bukanlah kelas penguasa.

Revolusi industri berubah menjadi revolusi sosial-politik. Demokrasi adalah salah satu pemikiran yang langsung berkembang dengan pesat. Demokrasi yang bersinggungan dengan nasionalisme. Ibarat lahan yang disirami hujan, pemikiran tentang demokrasi dan nasionalisme ini berbuah kepada pembentukan nation-state. Nation yang berdiri kokoh dalam ceruk national identity yang lain. Negara-negara merdeka baru yang kecil-kecil lahir. Negara-negara kecil yang hari ini justru kesulitan dalam membangun kinerja sebagai negara merdeka. Pertarungan antara Uni Eropa melawan nation-state masih menjadi wajah Eropa hari ini.

Bagaimana dengan Indonesia setelah 74 tahun merdeka? National and character building apa sudah selesai? Local identity, etnisitas, dan beragam bentuk oligarki local apa sudah mengalami rasionalisasi?

Kenapa Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Baswedan jauh lebih penting dibahas, ketimbang pemimpin daerah lain? Padahal Jakarta memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang luar biasa. Begitu juga Produk Domestik Bruto (PDB) Jakarta masih yang terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan kiprah Victor Laiskodat, Gubernur Nusa tenggara Timur atau Zulkieflimansyah, Gubernur Nusa Tenggara Barat? Begitu juga dengan kinerja pimpinan daerah di Papua yang masih mengalirkan darah konflik sampai kini.

Apakah Kejakartaan dan Keindonesiaan saling berseberangan? Atau justru mampu bekerjasama?

Sikap nyinyir yang terus-menerus atas posisi Anies Baswedan adalah bentuk pemiuhan atas potensi kepemimpinan lain yang berada di ranah lokal. Lokal, dalam artian provinsi, kabupaten dan kota. Terdapat lebih dari limaratus kepala daerah yang bisa dilongok kiprah mereka. Dalam sejumlah edisi khusus, terdapat penghargaan kepada kepala-kepala daerah yang dianggap mumpuni. Hanya saja, publik nasional sama sekali masih minim informasi yang bersifat menyeluruh atas daerah-daerah dimaksud.

Jangan-jangan, revolusi atau evolusi dalam demokrasi sama sekali belum selesai. Subjektivitas dalam bentuk politik identitas masih tebal menguasai limbik pikiran produsen ide di tingkat nasional. Bias Jakarta sebagai ibukota negara terasa melekat. Kemerdekaan belum berhasil membebaskan tindasan dalam bentuk lain. Nusantara masih berupa koloni bagi Jakarta, seperti Amerika Serikat bagi negara-negara Eropa pada abad ke 18.

Pada saat kenasionalan dan kelokalan belum menunjukkan tanda saling mempererat dan bersahabat, kini muncul pedesaan sebagai identitas baru. Pedesaan yang merupakan wadah dari bentuk asli demokrasi di Indonesia, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Hatta, mulai berkecambah sebagai identitas yang kuat.

Dalam sejumlah peristiwa belakangan, desa mulai menjadi entitas yang utama, puncak, sekaligus terisolir. Entitas sebagai warga desa lebih diprioritaskan ketimbang entitas warga negara. Persaingan antar warga desa sedang dimulai, baik dalam wujud yang positif ataupun negatif. Dalam kasus-kasus yang mencuat, entitas negara dengan segala simbolnya, beberapa mulai tenggelam atau disingkirkan dalam area pedesaan atau distrik. Pembunuhan satu keluarga yang tinggal di pedesaan kini semakin sering masuk statistik kejahatan. Aparatur negara, baik sipil atau militer, juga menjadi korban di area pedesaan. Tangan negara terlihat lemah di pedesaan.

Negara, daerah (lokalitas) dan desa adalah entitas segitiga yang tampak di permukaan. Ketiganya saling berebut pengaruh. Perayaan yang terjadi bukan hanya berupa pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, melainkan juga pemilihan langsung kepala daerah, dan pemilihan langsung kepala desa. Seluruh warga negara, warga daerah dan warga desa terlibat dalam proses itu. Warga yang sama, bukan warga yang berbeda.

Dibandingkan dengan Eropa yang pernah mengalami renaissance, Indonesia sama sekali belum pernah menggapainya. Muhammad Yamin adalah tokoh yang rajin melakukan penelusuran atas mitologi keindonesiaan itu. Yamin bahkan menggalinya sampai ke abad-abad silam. Abad ke-13 dijadikan Yamin sebagai dasar dari pembentukan Sang Saka Merah Putih. Buku “600 Tahun Sang Merah Putih” yang ditulis Yamin, berasal dari bendera yang dibawa pasukan Kediri, dalam menghadapi Singosari. Sayangnya, karya Yamin itu sama sekali tak ditindak-lanjuti. Padahal, karya itu jauh dari selesai.

Yamin menggunakan temuan-temuan arkeologi, linguistik, hingga berjenis hewan dan tumbuhan dalam menjawab masalah-masalah nasionalisme. Ketika menyelesaikan buku itu, Yamin sedang berada di daratan Eropa sebagai dutabesar. Yamin sudah jauh dari Indonesia. Sementara, gejolak-gejolak baru mulai muncul justru di dalam negeri.

Sejumlah pemberotakan terjadi atas nama daerah. Masalah-masalah yang dibawa oleh kaum pemberontak itu – yang notabene adalah anak-anak bangsa yang berpendidikan tinggi – sama sekali belum masuk ke dalam pemikiran Yamin. Generasi Yamin tak selesai dalam menggali mitologi Indonesia yang mampu menyambung pulau demi pulau, selain hanya menonjolkan aspek titian zamrud khatulistiwanya.

Kini? Agenda lain sudah datang. Yakni, bagaimana menggali mitologi pedesaan di Indonesia. Mitologi yang berjumlah begitu banyak, bahkan melebihi jumlah desa di Indonesia. Masing-masing desa menyimpan mitologinya sendiri. Mitos adalah tempat nenek moyang menyimpan ilmu pengetahuan dan sains. Apabila mitologi ini tidak digali, lalu ditempatkan dalam semacam Museum Mitologi Indonesia, pertanda masa depan bakal kehilangan sumber-sumber dari wajah “demokrasi asli” seperti yang dilabelkan Hatta. Para pendiri bangsa sama sekali tak berani membuat struktur yang seragam atas entitas yang bernama desa.

Mitologi di pedesaan ini adalah sumber dari ilmu pengetahuan dan sains yang bisa ditelusuri dengan baik. Pun sebagai bagian dari filsafat keindonesiaan yang masih hidup hingga hari ini. Dengan revolusi 4.0 yang terjadi hari ini, mitologi pedesaan ini bisa remuk. Mesin-mesin kemajuan industri dan teknologi bakal melumatnya. Padahal, dibalik wajahnya yang sering dilecehkan sebagai “wong ndeso” atau “kampungan” dan julukan lain, desa adalah benteng pertahanan pertama dalam menghadang sesuatu yang berwujud asing.

Jangan sampai negara, daerah dan desa menjadi segitiga peperangan antar nilai, ideologi dan filsafat yang membentuknya. Di masa depan, apa yang kemudian terjadi? Mana yang kemudian menjadi hancur? Apakah negara, daerah atau desa? Atau sekaligus ketiganya, ketika mayoritas para penyelelia pemikiran masih berkutat kepada agenda-agenda jangka pendek seperti siapa yang layak memimpin dalam lima tahun mendatang?

Bukanklah lebih baik jika yang terjadi adalah negara merangkul desa? Daerah menyulam negara? Desa merekat daerah? Negara adalah anyaman dari desa-desa mandiri? (*)

Komentar