Opini : Matinya Idealisme
Oleh : Ahmad Rifai Saputra | Sekjen BEM IAIN Palopo
Perubahan tidak datang begitu saja. Tak peduli berapa tumpukan buku yang sudah kau baca. Tak peduli berapa banyak teori yang kau pelajari. Tak peduli seberapa pandai kau membual tentang perubahan. Selama kau tidak turun ambil bagian untuk merebut perubahan. Maka dunia tidak akan kemana-mana. – Che Guevara
Tulisan ini akan kembali mengurai secara teoritis bagaimana kehidupan seorang mahasiswa yang dikenal dengan “idealisme”nya.
Tulisan ini berupaya untuk mengingatkan kembali mahasiswa yang “mungkin” sudah lupa bagaimana perjuangan para leluhur yang merelakan masa mudanya bahkan merelakan nyawanya demi satu kata yang kini begitu kaku untuk kita ucapkan yaitu “keadilan”.
Agak miris, melihat bagaimana eksistensi seorang mahasiswa akhir-akhir ini seolah-olah mati suri. Tulisan ini akan menjadi otokritik bagi kita semua, yang selalu mengucapkan tentang pembebasan tapi masih nyaman dengan selimut kekuasaan.
Jika kita melirik kembali perjuangan para leluhur kita, ditahun 1908 dimulai dengan terbentuknya organisasi BUDI UTOMO yang di prakarsai oleh Dr. Soetomo dan beberapa mahasiswa Stovia lainnya merupakan cikal bakal lahirnya spirit perjuangan oleh pemuda dan mahasiswa di Indonesia, terlepas dari Primordialnya organisasi tersebut.
Semangat dan spirit perjuangan itu dipegang teguh oleh pemuda dan mahasiswa hingga dua kali meruntuhkan era kedzoliman penguasa terhadap rakyatnya.
Puncaknya, ditahun 1998 ketika seluruh mahasiswa di seluruh penjuru Nusantara berkumpul untuk menuntut adanya Reformasi dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun.
Hasilnya, mahasiswa berhasil menduduki DPR dan MPR dan berhasil menggulingkan rezim Soeharto.
Mungkin sebagian orang yang membaca tulisan ini akan bertanya-tanya, mengapa harus menjelaskan sejarah diatas dalam tulisan ini?, tanpa penulis menulisnya, pembaca akan tetap akan tau bahwa kejayaan bangsa ini selalu ada pemuda dan mahasiswa didalamnya.
Yang ingin penulis sampaikan adalah, tidakkah sejarah diatas bisa menyadarkan mahasiswa betapa pentingnya peran mahasiswa di tengah-tengah masyarakat yang sampai sekarang masih trend dengan sebutan agent of change, social of control dan moral of force?.
Mengapa mahasiswa diera ini begitu gampangnya di nina bobokkan dengan kenyamanan yang dibuat oleh penguasa?, bukan kah munir, marsinah, wiji thukul dan kawan-kawannya yang lain yang sampai hari ini belum terungkap siapa pembunuhnya sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana perjuangan yang sebenarnya?
Sekelumit masalah yang mengangkangi kehidupan mahasiswa hari ini ternyata tidak cukup untuk menyadarkan mahasiswa betapa biasnya penguasa hari ini.
Mungkin masih ada segelintir mahasiswa yang masih komitmen atas sumpah yang telah diucapkannya, dan tidak sedikit pula mahasiswa yang telah menghianati sumpah tersebut.
Sampai hari ini, kita masih menunggu teriakan-teriakan tentang pembebasan, teriakan tentang perlawanan atas segala bentuk kedzoliman dan intimidasi terhadap rakyat.
Sudah terlalu lama kita semua nyaman dengan kasur empuk yang dibuat oleh para kapitalis, sudah terlalu lama kita menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, kini saatnya menghidupkan kembali spirit perjuangan yang telah lama mati suri, tegakkan kepala dan melihat bahwa semuanya sedang tidak baik-baik saja.(*)
Tinggalkan Balasan