OPINI: Pemindahan Ibu Kota

Oleh: Sawedi Muhammad (Dewan Pakar Pedoman Suara Indonesia)

Ibu kota negara akan dipindahkan ke Kalimantan. Apakah ini berita gembira yang patut dirayakan, atau kabar buruk yang bakal menyengsarakan? Adakah jaminan pemerataan pembangunan setelah ibu kota dipindahkan? Akankah Pulau Kalimantan semaju, paling tidak SDM dan infrastrukturnya dengan Pulau Jawa?

Bagaimana nasib penduduk lokal, Dayak dan Banjar setelah wilayahnya jadi ibu kota negara? Akankah nasibnya seperti orang Betawi di Batavia yang semakin termarjinalkan di tengah bisingnya deru pembangunan ibu kota? Bagaimana dengan kondisi hutan Kalimantan? Akankah semakin tereksploitasi atau terjaga dari massifnya ekspansi industri pertambangan, perkebunan dan kehutanan?

Sebagai daerah baru yang akan menjadi pusat pemerintahan, Kalimantan butuh investor.

Rasanya tidak mungkin pembangunan berbagai macam fasilitas pemerintahan sepenuhnya dibebankan ke APBN. Bagaimana mekanisme peran investor? Apakah tidak menjadi beban utang dalam jangka panjang?

Infrastruktur yang memadai adalah syarat utama sebuah ibu kota negara. Tapi apakah dengan tersedianya infrastruktur di ibu kota kesenjangan ekonominya dengan perdesaan tidak semakin melebar? Siapkah ibu kota baru diserbu oleh migrasi besar-besar dari daerah pinggiran, termasuk imigran dari luar Kalimantan?

Masih banyak pertanyaan seputar pemindahan ibu kota negara. Yang pasti, Bappenas sudah melakukan studi kelayakan selama beberapa tahun. Kalkulasi ekonomi, politik dan kultural seharusnya sudah dipikirkan secara matang.

Pemindahan ibu kota seharusnya bukan hanya persoalan fisik, infrastruktur dasar dan fasilitas penunjang lainnya. Ia juga tentang perencanan dan rekayasa sosial. Karena persoalan yang hadapi ibu kota negara bukan hanya persoalan infrastrukturnya, tetapi juga pembangunan manusianya. Pembangunan jiwa dan raga haruslah berimbang, sebagaimana bait indah dalam lagu ; bangunlah jiwanya, bangunlah raganya, untuk Indonesia Raya. (*)

Komentar