Opini: Penangkapan 3 Ulama, Cermin Pemerintah Semakin Represif
Oleh: Kusniati, S.Pt – Anggota Majelis Qalbu Palopo
Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, menjelang akhir tahun isu teroris makin intensif diangkat dan blow up angka keberhasilan penangkapannya. Kemudian dikaitkan dengan banyak hal yang diasosiasi dengan islam, seperti tokoh ulama, dana zakat, kebun kurma, organisasi islam, dan ulama maupun pemahaman jihad.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar memaparkan setidaknya ada sekitar 216 orang terlibat dalam aksi terorisme sejak Januari hingga Mei 2021.
“Terdata dari bulan Januari hingga Mei 2021, terdapat 216 orang dengan rincian sebagai berikut, yang terkait jaringan Jamaah Al Islamiah ada 71 orang, kemudian kedua kelompok Jamaah Ansharut Daulah 144 orang, dan satu orang adalah terkait deportan,” kata Boy dalam paparannya pada rapat bersama Komisi III DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/05/21).(Kompas.com)
Dan benar saja, seperti yang Baru-baru ini terjadi bahwa densus 88 antiteror Polri, selasa 16 nov 2021 telah menangkap 3 ulama ternama tanah air, mereka adalah ustadz Dr. Farid Ahmad Okbah (Ketua Umum Partai Dakwah Indonesia), Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah (Anggota komisi Fatma MUI, mantan pengurus PCIM Muhammadiyah Mesir) dan Ustadz Dr. Anung Al-Hamat.
Menurut keterangan Polri, ketiganya berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah melalui Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf yang diduga menjadi sumber pendanaan aktivitas terorisme dari kelompok itu. Penangkapan tiga orang tersangka kasus terorisme, yang salah satunya merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zain An-Najah, dinilai menunjukkan bahwa pergerakan kader Jamaah Islamiyah telah masuk ke berbagai lini di tengah masyarakat. (bbc.com/indonesia)
Selanjutnya dilansir dari nasional kompas, ketiga terduga terrorist memiliki andil masing-masing, Zain An-Najah merupakan Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat BM ABA dan Farid Okbah adalah anggota Dewan Syariah LAZ BM ABA. Zain juga merupakan anggota Fatwa Komisi MUI yang saat ini status kepengurusannya telah dinonaktifkan. Kemudian, Farid Okbah adalah pendiri Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI).
Sementara itu, Anung Al Hamad adalah pendiri “Perisai”, suatu badan yang memberikan bantuan hukum bagi anggota JI yang tertangkap Densus 88 Polri. Tuduhan inilah yang menjadi alasan Densus 88 menangkap 3 ulama tersebut. Penangkapan itu lantaran adanya dugaan keterlibatan dalam jaringan kelompok terorisme JAT (Jamaah Islamiyah).
Bukan kali ini, pemerintah menangkapi para ulama, tanpa melalui prosedur penyelidikan. Ulama yang mengajari umat tentang kebaikan malah mendapatkan kriminaslisasi. Sampai saat ini, ketiga ulama tersebut masih belum diketahui secara jelas keberadaannya, belum didampingi pengacara dan penangkapannya pun banyak kejanggalan-kejanggalan.
Diketahui melalui penuturan istri ketiga Dr Anung Al-Hamat, kronologi penangkapan ustadz tersebut tidak memperhatikan prosedur hukum, bahkan telah melecehkan kemuliaan muslimah yang dijaga oleh umat islam.
Betapa tidak, anggota densus 88 pada saat subuh menerobos masuk ke lingkungan pondok tanpa menunjukkan surat penangkapan kepada pihak keluarga dan masuk tanpa izin ke ruangan santriwati-santriwati yang sedang tidak menutup aurat.
Mereka juga menyita sejumlah barang milik jamaah haji sebagai barang bukti. Hingga kini ketiga ulama tersebut belum bisa dihubungi padahal dalam pasal 69 KUHP tertulis bahwa setelah seseorang tertangkap, dia berhak menghubungi dan didampingi pengacara/kuasa hukum.
Ketiga ulama tersebut tidak pernah memiliki ciri teroris seperti menghujat pemerintah dan mengkafirkan orang lain.
Seminggu sebelum terjadi penangkapan beliau Ahmad Zain An-Najah ikut dalam ijtima ulama komisi fatwa MUI ke-7 yang digelar pada tanggal 9-11 November di Jakarta, perlehatan rutin tiga tahunan ini menyepakati 17 poin bahasan. Salah satunya tentang hukum jihad dan khilafah.
Intinya, dalam salah satu rumusannya dinyatakan bahwa jihad dan khilafah adalah bagian dari islam.
Karena itu ijtima ulama komisi fatma MUI tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah.(Mui.or.id, 14/11/21)
Selain itu, setelah penangkapan ketiga ulama tersebut ramai di jagat media sosial, isu pembubaran MUI itu datang dari Buzzer pro oligarki yang nempel dengan kekuasaan. Kita bisa baca di media sosial banyak tagar dan juga opini yang ditujukan untuk pembubaran MUI.
Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib menilai terlalu berlebihan menyebut, penangkapan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas dugaan kasus terorisme sebagai kriminalisasi ulama atau Islamfobia.
Bukan kali ini, pemerintah menangkapi para ulama. Sebelumnya ada Abu Bakar BA Asyir juga tertangkap dengan tuduhan dugaan terkait jaringan terorisme.
Juga menangkap HRS, Gus Nur, Habib Bahar, dan lainnya hanya karena bersebrangan dengan pendapat penguasa, buktinya tidak ada satupun ulama yang merapat ke penguasa yang tertangkap.
Mereka yang tertangkap adalah ulama yang lantang menyuarakan kebenaran. Sungguh menyedihkan ulama yang mengajari tentang kebaikan malah mendapatkan kriminalisasi.
Padahal jika berbicara teroris, seharusnya pemerintah menangkap OPM atau yang terjadi di Papua yang jelas-jelas menghilangkan nyawa manusia. Jelas bahwa semua skenario ini menunjukkan bahwa terorisme narasi yang khusus tertuju kepada kaum muslim.
Daya pikat demokrasi begitu kuat. Banyak orang di dunia begitu antusias terhadap demokrasi. System politik dari yunani kuno ini dianggap sebagai antitetis dari kediktatoran.
Sistem tirani ini sepanjang sejarah peradaban manusia dianggap sebagai momok. Rezim-rezim komunis dan para penguasa timur tengah biasanya dijadikan potret kediktatoran yang buram dan represif.
Siapa yang menyangka bila demokrasi itu bisa melahirkan pemerintahan yang juga bertangan besi. Represif.
Itulah potret yang terlihat dari pemerintahan jokowi dalam dua periode pemerintahannya. Bahkan periode kedua, gaya otoriter yang ditampakkan jokowi menjadi-jadi. Padahal jokowi sering berseloroh: mana mungkin tampang seperti dia bisa dictator.
Fakta berbicara lain. Democracy index 2017 yang di rilis The Economist mencantumkan, dari 167 negara yang disurvei, penurunan terbesar dalam kebebasan demokrasi terjadi di Indonesia.
Peringkat demokrasi Indonesia turun dari peringkat ke-48 di dunia ke peringkat ke-68 hanya dalam waktu satu tahun. Penurunan iklim demokrasi ini akibat gaya kepemimpinan otoriter jokowi.
Inilah yang terjadi sejak jilid pertama kekuasaan Jokowi. Praktik perang melawan terorisme dan radikalisme menjadi terkesan mawur dan serampangan.
Bahkan, nampak telanjang bahwa narasi terorisme hanyalah jurus dewa mabuk untuk membungkam lawan politik dan mengalienasi kelompok kritis yang menginginkan perubahan Indonesia ke arah yang lebih bermartabat sesuai Islam.
Islam memang nampak menjadi sasaran utama proyek melawan terorisme ini. Mengingat geliat kebangkitan kesadaran akan rusaknya sistem hidup berdasar sekularisme demokrasi yang dimotori kelompok Islam dan ulama-ulama ideologis memang berbenturan dengan kepentingan kelompok penguasa yang telah diuntungkan oleh penerapan sistem rusak ini.
Berbagai kejadian ini mengingatkan kita kepada hadist rasulullah saw, tentang tahun yang penuh dengan tipu daya (sanawatun Khodda’at).
Beliau menggambarkan saat seperti itu : pendusta dibenarkan, sementara yang jujur malah dianggap bohong. Para penghianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai penghianat.
Apa yang disebut rasulullah SAW sangat jelas tampak pada negeri-negeri Islam saat ini. Muncul rezim-rezim represif. Dengan kekuasaan mereka, mereka berbuat seenaknya. Membuat kebijakan yang menyengsarakan dan menambah beban rakyat. Membunuh rakyat demi kekuasaan. Bahkan melegalkan pembunuhan itu dengan kebohongan.
Rasulullah SAW juga memberikan kepada kita pedoman dalam menghadapi rezim represif itu yaitu kita tidak boleh berpihak pada kezaliman, mendukung pemimpin zalim, apalagi membenarkan kezaliman mereka.
Islam mempunyai sejumlah perangkat atau sistem yang dapat mencegah dan menangkal penguasa dalam sistem islam tidak menjelma menjadi kekuasaan yang otoriter maupun represif, diantaranya : Kekuasaan ada untuk mengurus rakyat (ri’ayah syu’un al-ummah), Standar hukum yang jelas (Kitabullah dan sunnah Rasul-nya),
Penegakan hukum yang setara untuk semua Keberadaan rezim represif merupakan keniscayaan sejarah. Ini sebagaimana disabdakan Nabi ﷺ bersabda,
«سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
“Akan datang ke pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan, saat itu pendusta dibenarkan, orang yang benar justru didustakan, pengkhianat diberikan amanah, orang yang dipercaya justru dikhianati, dan Ar-Ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan, “Apakah Ar-Ruwaibidhah?” Beliau bersabda, “Seorang laki-laki yang bodoh (Ar Rajul At Taafih) tetapi sok mengurusi urusan orang banyak.”(HR. Ibnu Majah No. 4036)
Oleh karenanya, isu radikalisme maupun terorisme adalah hanyalah alat untuk menghadang Islam politik.
seharusnya umat muslim semakin sadar bahwa perjuangan yang harus dilakukan untuk melawan isu terorisme adalah dengan melakukan agenda dakwah. Mengembalikan junnah atau perisai umat Islam yaitu khilafah.
Sebab hanya dengan adanya khilafahlah, nasehat-nasehat ulama akan didengarkan dan dipertimbangkan asalkan demi kemaslahatan umat. Wallahu’alam bisshawab.(*)
Tinggalkan Balasan