OPINI: Penegakan Hukum (Law Enforcement) dan Perlindungan HAM Atas Tambang Ilegal Siguntu

Oleh : IRHAM AMIN (Praktisi Hukum/Ketua Komisi Hukum & HAM KNPI Palopo)

KAWASAN Hutan Lindung Siguntu sekitar 20 tahun silam menjadi incaran beberapa perusahaan asing untuk melakukan aktifitas pertambangan karena potensi kandungan mineral yang bernilai ekonomis tinggi berupa emas yang terkandung dalam kawasan tersebut. Suara kritis Kelompok masyarakat dan LSM pun terdengar lantang menggelar aksi penolakan rencana penambangan tersebut.

Kini, Kawasan Hutan Siguntu kembali mejadi pembicaraan hangat disebabkan adanya aktifitas tambang yang diduga ilegal (illegal mining). Informasi tersebut terdokumentasi secara faktual, baik dalam pemberitaan media elektronik maupun di media sosial, yang dapat dilihat adalah dokumentasi aktifitas dugaan tambang ilegal di kawasan hutan lindung siguntu. Gelombang aksi penolakan dari organisasi masyarakat menggaungkan tuntutan pengusutan tuntas terhadap dugaan tambang ilegal tersebut.

Kawasan Hutan Lindung Siguntu
Di Kota Palopo, luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi hutan lindung, suaka alam dan pelestarian alam, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap serta hutan konversi.

Total luas kawasan hutan lindung di Kota Palopo pada tahun 2018 adalah seluas 10.289,58 Ha, dengan rincian hutan lindung seluas 8.297,53 Ha, taman wisata alam seluas 968.21 Ha, dan hutan produksi terbatas seluas 1.023,84 Ha. (data BPS Kota Palopo, Kota Palopo Dalam Angka 2019).

Salah satu dari hutan tersebut adalah areal hutan lindung seluas 1.100 Ha di daerah Siguntu (kelompok hutan nenggala). Geomorfologi Siguntu merupakan daerah dengan elevasi ketinggian antara 400 meter – 1400 meter dari permukaan laut, dengan (kemiringan 45° – 60°) seperti dibagian hulu sungai tarra dan sungai tallang yang mengalir dan bermuara ke sungai latuppa. Sungai Latuppa merupakan sumber utama air bersih dan air minum bagi masyarakat Kota Palopo.

Sebagai gambaran dari fakta tersebut, dapat dilihat dari data Jumlah pelanggan PDAM pada akhir tahun 2018 tercatat sebanyak 34.118 pelanggan. Sebagian besar pelanggan Rumah Tangga sebanyak 29.286, pelanggan niaga sebanyak 4.166, sosial 435 pelanggan, Instansi pemerintah 221 pelanggan, industri 9 pelanggan, dan khusus sebanyak 1 pelanggan. Air yang berhasil disalurkan sebanyak 9.161.016 meter kubik. (data BPS Kota Palopo, Kota Palopo Dalam Angka 2019).

Selain sebagai sumber suplai air bersih, irigasi pertanian, perkebunan dan fungsi hutan yang lain, Siguntu juga memiliki kandungan emas dan mineral lain yang cukup besar. Hasil analisa geokimia di beberapa tempat diperoleh nilai anomali unsur yang cukup tinggi, dimana untuk unsur emas (Au) nilai tertinggi adalah 9.795 ppb, unsur kelompok logam dasar seperti Cu 11.294 ppm, Pb 2.062 ppm, Zn 105.800 ppm, Mn 2.359 ppm, As 19.625 ppm dan W 8.400 ppm. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Subdit Mineral Logam Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Mineralisasi terjadi berupa emas primer tipe urat breksian dan “stockwork” pada satuan batupasir, filit, batusabak dan serpih (formasi Latimojong) berumur kapur atas dan batuan granit, yang terdiri dari 5 lokasi mineral emas dan 11 lokasi mineral non logam (Zulkifli, Valuasi Ekonomi Sumber Daya Air Hutan Siguntu Kota Palopo Sulawesi Selatan, Tesis Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2009, Hal. 2-3).

Potensi mineral berupa emas yang terkandung dalam perut bumi di kawasan hutan Siguntu, menjadi magnet daya tarik yang bernilai ekonomi tinggi bagi investor dan akan berpotensi berada dalam bayang-bayang eksploitasi dari masa ke masa. Termasuk apa yang terjadi hari ini, terdapat fakta adanya dugaan aktifitas pertambangan ilegal berupa ditemukannya pengambilan material tambang serta jejak lubang galian puluhan meter oleh sekelompok oknum yang tidak bertanggung jawab.

Konsep Penguasaan Negara dan Perlindungan HAM
Konsep penguasaan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, perlu diterapkan dan menjiwai dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam. Pasal 33 sebagai dasar Hak Penguasaan Negara yang mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian dan kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian jelas bahwa “hak penguasaan” (Authority Right) terhadap bahan galian berada di tangan Negara. Sedangkan hak kepemilikan (Mineral Right) terhadap bahan galian adalah berada di tangan Bangsa Indonesia (seluruh rakyat).

Jadi secara filosofis, kekayaan alam termasuk mineral dan batubara dikuasakan kepada Negara oleh rakyat, untuk dikelola bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk menguasai sumber daya alam dengan tujuan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Pasal ini juga dapat diterjemahkan sebagai dasar bagaimana seharusnya Negara mengelolannya dengan baik, tidak hanya menguasai. Sumber daya alam harus dikelola secara bijak dan adil, tidak hanya semata-mata melihat pertumbuhan investasi dan devisa negara. Pengaturan secara jelas dan tegas tentang transparansi, partisipasi serta akuntabilitas dalam pengelolaan menuju good governance dan demokratisasi pengelolaan pertambangan serta good mining practice.

J.J Rousseau, menyebutkan bahwa kekuasaan Negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat yang bersumber dari hasil perjanjian masyarakat, yang esensinya melindungi dan membela kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan setiap individu. Kekuasaan Negara bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada hukum (leges imperii) yang membatasinya. Menurut Yudha B. Ardiwisastra, pengertian leges imperii adalah undang-undang dasar yang memuat ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.

Sejalan dengan kekuasaan yang dibatasi tersebut, secara teoritik kekuasaan atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Pemberian izin pertambangan sangat terkait dengan hak penguasaan atas bahan galian pertambangan di dalam bumi Indonesia.

Eksploitasi Sumber Daya Alam terkait mineral dan batubara berhubungan erat dengan konsep pengelolaan lingkungan hidup, dimana kegiatan usaha ini lebih rentan dengan kerusakan lingkungan karena menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat pengusahaan pertambangan, demikian pula kualitas hidup masyarakat dapat menurun karena dampak yang ditimbulkannya. Upaya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup didefinisikan “upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum”.

Dengan diaturnya masalah lingkungan hidup di dalam UU 32 tahun 2009 tentang UUPPLH, maka lingkungan hidup menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan Sumber Daya Alam. Pembangunan tidak lagi menempatkan SDA sebagai modal, tetapi sebagai satu kesatuan ekosistem yang didalamnya berisi manusia, lingkungan alam dan/atau lingkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional, saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik. Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lingkungan bersifat spesifik, terpadu, holisitik dan berdimensi ruang.

Abrar Saleng mengemukakan berbagai dampak negatif pertambangan adalah : 1) Usaha pertambangan dalam waktu relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi tanah dan keadaan muka tanah (land impact) sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya; 2) usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, seperti pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing, serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun; 3) pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat menimbulkan longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang dan gempa (Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, hlm.117).

Kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Olehnya itu, amanat Pasal 12 ayat (1) UU 32/2009 tentang UUPPLH menegaskan bahwa pemanfaatan SDA harus dilakukan berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yang terdiri atas RPPLH nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga pemanfaatan SDA dilaksanakan dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.

Aktifitas dari suatu kegiatan usaha seperti pertambangan tidak boleh mendatangkan kerugian bagi masyarakat umum. Demikian pula alam yang menjadi sumber penyedia bahan tambang (SDA) tidak boleh terganggu karena akan menghilangkan keseimbangan ekosistem, ekologi yang berakibat pada pada kerusakan alam/lingkungan hidup. Terlebih konteks bukit Siguntu tersebut adalah areal hutan lindung yang harus dijaga kelestariannya terkhusus merupakan hulu DAS sungai Latuppa yang menjadi sumber utama air bersih dan air minum bagi masyarakat Kota Palopo. Potensi terganggunya aspek kehidupan masyarakat, jika ditinjau dari sisi Hak Asasi Manusia, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, tentulah sangat bersentuhan dengan dampak dari pertambangan. Dalam konteks HAM terdapat hak atas lingkungan yang harus dijaga/ditegakkan sebagai hak konstitusional secara kolektif dari setiap warga negara, yakni “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” (Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945). Hak asasi tersebut mendapat pengakuan melalui sidang komisi tinggi HAM yang menegaskan bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi dan bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan”.

Dampak dari kegiatan pertambangan selain menimbulkan potensi kerusakan lingkungan dan tingginya tingkat pencemaran, juga berpotensi merampas hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara. Deklarasi Umum Hak Asas Manusia yang memberi perlindungan Hak Ekosob, sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005 lewat Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekosob, yang berkonsekuensi negara wajib secara aktif dan bertanggung jawab memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya warga negaranya, tidak hanya perlindungan dari kejahatan lingkungan, akan tetapi juga terhadap bentuk kejahatan HAM. Setidaknya hal yang menjadi sorotan atas potensi pelanggaran HAM dari kegiatan pertambangan yaitu kecenderungan terjadinya pelanggaran HAM berkaitan dengan aspek lingkungan, dan kecenderungan terjadinya pelanggaran HAM berkaitan dengan penggusuran warga masyarakat setempat dari sumber-sumber kehidupan mereka. Maka, negara wajib menunjukkan keberpihakannya pada rakyat selaku pemegang kedaulatan. Seketika terjadi pelanggaran hukum negara wajib hadir untuk melakukan tindakan penegakan hukum, sekaligus memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Warga Negaranya.

Penegakan Hukum (law enforcement)
Dalam konstitusi NKRI UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku. Sehingga setiap orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana tidak bisa langsung dihukum tanpa melalui proses hukum yang mendahuluinya. Ada mekanisme tahapan dalam menangani dugaan tindak pidana (baik pidana umum maupun pidana khusus), keduanya tentu harus diproses sesuai hukum yang berlaku (due process of law). Dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses peradilan untuk menentukan seseorang itu bersalah atau tidak bersalah melalui putusan pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Maknanya, setiap warga negara yang ada di wilayah negara Indonesia kedudukannya sama didalam hukum. Siapapun yang melanggar hukum akan mendapat sanksi.

Semua kegiatan usaha yang menyangkut sumber daya alam, wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Pelaksanaan penguasaan Negara terhadap sumber daya alam disini diberikan dalam bentuk “izin usaha Pertambangan”, yang merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat digunakan oleh pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan kegiatan usaha di bidang pertambangan. Terlebih lagi jika usaha pertambangan tersebut dilakukan dalam kawasan hutan lindung wajib mengantongi izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari menteri Kehutanan. Tanpa adanya izin usaha pertambangan dan/atau izin lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, perusahaan pertambangan atau perseorangan tidak dapat melakukan kegiatan usahanya. Jika tetap dilaksanakan aktifitas tambang tanpa izin, maka berkonsekuensi pidana bagi pelakunya dan negara wajib melakukan penindakan hukum.

Terkait adanya dugaan aktifitas pertambangan ilegal dikawasan hutan lindung siguntu berupa ditemukannya pengambilan material tambang mineral emas dan jejak lubang galian puluhan meter, serta adanya surat teguran dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel kepada seseorang untuk menghentikan aktifitas pertambangan di hutan lindung siguntu yang ditembuskan kepada pemerintah Kota Palopo, adalah fakta yang menjadi pintu masuk untuk dapat dikembangkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan lintas sektor oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Polri, untuk menentukan apakah telah terjadi tindak pidana (strafbaar feit) khusus dibidang pertambangan, kehutanan dan/atau lingkungan hidup, serta menetukan siapa tersangkanya, baik yang menyuruh melakukan (intelectual dadder), yang melakukan perbuatan pidana, atau turut melakukan perbuatan, dan siapa dengan sengaja telah memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut. Semuanya diusut tuntas untuk dimintai pertanggungjawaban dihadapan hukum agar memberikan efek jera.

Terakhir, sebagai upaya preventif agar tidak terjadi lagi perambahan kawasan hutan lindung siguntu, sangat penting untuk menyediakan sarana dan prasarana perlindungan kawasan hutan yang dapat dipergunakan oleh satuan Polisi Kehutanan, berupa jalan patroli, pos jaga, papan larangan, alat komunikasi statis, alat transportasi, pal batas, dan alat-alat pengamanan hutan lainnya, untuk menjaga kelestarian hutan lindung siguntu dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Hutan lindung Siguntu dengan segala sumber daya alam yang terkandung didalamnya adalah merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak khususnya hajat hidup masyarakat kota Palopo sebagai sumber kehidupan. Olehnya itu patut untuk tetap dijaga kelestariannya demi kelangsungan generasi dimasa kini dan masa mendatang. (*)

Komentar