TERASKATA.COM

Dari Timur Membangun Indonesia

Opini: Permen ala Liberal

admin |

Oleh: Nurfadhilah Anshar Naim, S. Sos

Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengeluarkan aturan baru terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. (Tribunnews.com, 12/11/2021)

Dalam hal ini, fatwa dikeluarkan karena banyaknya laporan pelecehan seksual yang dilakukan dosen, pegawai bahkan pejabat kampus terhadap mahasiswi. Baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Tak cukup pada isi Permendikbud yang kontroversial. Pada pasal lainnya disebutkan sanksi bagi pihak perguruan tinggi yang tidak menjalankannya. 

Sanksi itu tertera dalam Pasal 19 Permendikbud 30 tahun 2021. Isi dari Pasal 19 itu adalah “Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa: penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi”.

Mencermati sanksi yang disebutkan pada pasal 19 bagi Perguruan Tinggi, ini menunjukkan bahwa Permendikbud ini tidak hanya mendorong liberalisasi seksual di kampus. 

Namun juga menegaskan represi rezim agar semua institusi Perguruan Tinggi mengikuti tanpa ada celah untuk mengkritisi peraturan menteri tersebut. Begitu pula sikap yang ditunjukkan rezim yang mengabaikan kelompok masyarakat yang mengkritisi hingga menolak Permendikbud liberal ini. 

Hal tersebut menjadi bukti bahwa tujuan pemberlakuan Permendikbud ini bukanlah memberantas kekerasan seksual di kampus. Namun lebih dominan untuk menjadi alat yang semakin mengokohkan paradigma kesetaraan gender dan liberal pada berbagai lini.

Terbitnya Permen PPKS di Kampus melahirkan sikap pro dan kontra. Menurut pihak yang mendukung ini adalah sebuah terobosan baru karena berfokus pada perlindungan korban kekerasan seksual. Namun pihak yang menantang menilai bahwa Permen PPKS ini adalah bentuk dari pelegalan seks bebas, sebagaimana dalam pasal 5 bahwa termasuk kategori kekerasan bila ada unsur pemaksaan, sehingga memunculkan multitafsir.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nisam membantah anggapan yang mengatakan aturan ini dapat melegalkan Pratik perzinahan di kampus. 

Dia mengatakan, anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. (Kompas, 10/11/21)

Disisi lain, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan pengemangan (Diktilitbag) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai beleid tersebut cacat formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina. 

Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”. “Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021). (lamannasional.kontan.co.id, 12 November 2021).

Frasa “tanpa persetujuan korban”, kalau menurut pemahaman terbaliknya berarti boleh saja hal itu dilakukan jika korban setuju. Namun sebenarnya definisi korban dan pelakunya juga jadi tidak jelas, kalau “sama-sama suka atau sama-sama setuju”. Itu artinya, Permendikbud ini bermasalah. Bisa dijadikan alasan untuk melakukan seks bebas alias berzina bagi orang yang memang hobinya maksiat.

Dilansir dari portal-islam.id (9/11/2021) di antara penolakan itu datang dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam Indonesia.

Ketua MOI, Nazar Haris menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan.

Oleh karenanya, Nazar meminta agar peraturan tersebut dicabut. Karena akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang mestinya perzinaan itu suatu kejahatan, malah kemudian dibiarkan. Seperti pada pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa, perbuatan asusila di kampus tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka, atau pelaku mendapat persetujuan dari korban

Namun mirisnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumus mendukung penuh peraturan Menteri Pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual atau yang sering disebut dengan permendikbud 30. (Nasional.tempo.co, 12/11/2021)

Dalam aturan tersebut memang tidak ada kalimat langsung yang menyatakan melegalkan zina. Hanya saja, kata consent dalam perumusan tersebut mengacu pada persetujuan korban. Dimana jika korban menerima atas dasar suka sama suka, maka hal tersebut tidak dikatakan sebagai pelecehan seksual. 

Bukankah hal ini justru mengajak untuk melegalkan zina dengan makna legalisasi seks bebas berbasis persetujuan? Ini justru menjadi pintu utama merebaknya zina di kalangan perguruan tinggi.

Begitulah dengan sistem liberalisasi yang ada pada saat ini, semua serba bebas bahkan dalam masalah zina sekali pun. Jika perbuatan asusila dilakukan secara suka sama suka maka hal itu tidak dikatakan sebagai pelaku kekerasan seksual atau pun zina, sementara ketika ada yang merasa dipaksa atau tidak mendapat persetujuan dari korban barulah dikatakan telah melakukan kekerasan seksual.

Sementara itu, tidak adanya sanksi yang tegas juga semakin menjadikan perbuatan zina ini seolah menjadi aktivitas yang biasa. Bahkan tidak malu-malu lagi bagi pemuda-pemudi berduaan sekalipun di tempat umum.

Cara pandang terhadap persoalan kekerasan seksual ini justru akan menggiring generasi muda semakin bebas dalam pergaulannya di kampus. 

Perlu ada regulasi untuk mengatasinya. keluarnya Permendikbud ini yang ditujukan untuk mengatasi kekerasan seksual, tidak dapat menjadi solusi bagi persoalan tersebut. 

Logika liberal yang menjadi dasar keluarnya Permen tersebut justru membuka pintu bagi maraknya seks bebas di kalangan generasi.

Permendikbud ini tidak lain adalah hasil dari pendidikan sekularisme yang telah membentuk pola pikir liberal pada diri peserta didik.

Cara pandang barat yang bebas dari norma agama telah mereka adopsi yang kemudian coba diterapkan pada umat Islam.

Hal ini akibat jika mengambil kebijakan hukum menggunakan standar manusia. Segala kebijakan yang dibuat tidak menyelesaikan masalah, justru menambah masalah. 

Meskipun rumusan kebijakan ini dicabut, tidak menutup kemungkinan hal ini akan tetap berulang selama masih menjadikan standar manusia sebagai pengambilan hukum.

Negara seharusnya menjaga moralitas dan perilaku generasi, bukan malah memberikan peluang kebebasan yang menyubur di kalangan kampus. 

Sementara mahasiswa yang good looking, religius, dan Islami justru dicurigai sebagai benih radikalisme.

Hal ini penting untuk negara melawan liberalisme dan sekulerisme yang terbukti merusak generasi bangsa. 

Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya insan yang akan menciptakan contoh kebaikan, namun disistem kapitalis saat ini malah difasilitasi dengan kebijakan yang akan semakin menjerat mereka dalam liberalisasi seksual yang telah mengepung para pemuda dan pemudinya. 

Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di tengah masyarakat, khususnya kampus tidak akan tuntas dengan adanya Permen PPKS. Butuh solusi integral untuk menyelesaikannya, yakni dari asasnya.

Kekerasan seksual lahir dari pemahaman liberalism yang mengagungkan kebebasan. Oleh karenanya, pemikiran liberal ini harus dibuang dan diganti dengan pemikiran Islam, yang bersumber dari Allah SWT. 

Karena islam adalah agama paripurna yang memiliki solusi preventif dan sistemis dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual.

Pertama, menerapkan sistem pergaulan islam yang mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan sesuai koridor syariah. Islam akan memberi aturan berpakaian yang baik. 

Sehingga tidak sembarangan mengumbar aurat bagi laki-laki dan perempuan. Islam juga akan melarang aktivitas khalwat dan ikhtilat. 

Pada dasarnya kehidupan umum laki-laki dan perempuan akan hidup terpisah, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan. Semisal pengobatan, pendidikan, perdagangan dan kemaslahatan lainnya.

Kedua, adalah suasana amar maruf nahi mungkar yang kental dalam masyarakat. Tak peduli siapa yang bermaksiat maka harus dinasihati, dan pelaku akan dikondisikan agar mau menerima nasihat dan bertaubat.

Ketiga, sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kriminal kejahatan seksual. Sanksi pelaku perkosaan berupa had zina. Dimana jika pelakunya telah menikah maka akan dirajam sampai mati. Tetapi jika belum menikah akan dijilid/cambuk 100 kali.

Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam Qur’an Surah An-Nur ayat 2, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan ) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Semua ini semata-mata Islam lakukan dalam rangka penjagaan terhadap generasi masyarakat. Upaya pencegahan ini akan terwujud bila syariat Islam dapat diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi bernama Khilafah Islamiyah.

Betapa sempurnanya Islam mengatur kehidupan manusia. Hukum-hukumnya berasal dari Allah Swt. Sang Pengatur semesta alam ini. Allah Swt yang paling memahami bagaimana aturan hidup bagi makhluknya. 

Sehingga bila saat ini manusia hidup tanpa aturan dari Allah, hanya akan mengantarkan pada kerusakan dan kesengsaraan. Wallahu a’lam bishawwab.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini