TERASKATA.COM

Dari Timur Membangun Indonesia

Opini : Rakyat Butuh Makan, Tak Sekadar Angka Pertumbuhan Ekonomi yang Mencengangkan

admin |

Oleh : Rahmawati SPd

“Tuhan, Aku Lapar” sebuah mural yang terpampang di jalan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Viralnya mural tersebut setidaknya menjadi indikasi bagaimana kondisi masyarakat saat ini. 

Di era Pandemi sangat real terlihat kondisi masyarakat yang kian terpuruk. 

Tingginya angka PHK, banyaknya UMKM yang gulung tikar, serta sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan makin memperburuk kondisi masyarakat. 

Herannya dalam kondisi ini, justru Badan Pusat Statistik merilis data bahwa ekonomi Indonsia pada kuartal ke-2 pada tahun 2021 tumbuh sebesar 3,33%. 

Sedangkan jika dilihat dari pertumbuhan year on year, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ke-2 mencapai 7,07 % setelah 4 kuartal sebelumnya berada di zona negatif. Lebih jauh lagi disampaikan bahwa Indonesia telah keluar dari krisis (Kompas.com 8/8/2021)

Banyak pakar yang menyangsikan bahwa hal tersebut merupakan berita bahagia. Bahkan diantaranya justru memberi kritik yang tajam. Faisal Basri menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ke-2 tahun 2021 ini tergolong paling lambat dibandingkan negara lainnya.

Ekonom Rizal Ramli menilai pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 tidak mencerminkan keadaan sebenarnya karena pembandingnya pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020. Jika pembandingnya kuartal I 2021, maka tumbuh 3,3% saja. (kumparan.com, 7/8/2021). 

Hal ini disebut low base effect, yaitu membandingkan data yang tinggi dengan data jelek, yang paling rendah, untuk menunjukkan kesan berhasil.

Sementara itu, ekonom INDEF, Andry Satrio menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2021 ini bersifat semu karena berpijak pada posisi pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 yang memiliki basis sangat rendah, yakni -5,32%(tempo.co, 6/8/2021).

Jadi kesalahan bukan ada pada data ataupun cara membaca data, namum justru lebih fatal dari pada itu, yakni ketidakmampuan data atau instrument yang dimiliki oleh sistem ekonomi kapitalis yang gagal untuk memotret ekonomi real di tengah-tengah masyarakat. Ketika realitas perekonomian masyarakat demikian pahit, angka pertumbuhan ekonomi nan fantastis tersebut hanyalah pemanis. 

Padahal, rakyat butuh makan, bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, namun realitasnya tak ada. 

Angka pertumbuhan ekonomi jamak digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan rakyat. Telah banyak para ekonom mengkritik terkait hal ini. 

Mengukur kesejahteraan hanya dari pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi mengabaikan fakta ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.

Seperti kita lihat saat ini, di masa pandemi, banyak rakyat yang kehilangan pencaharian. Di sisi lain, para kapitalis makin kaya raya, pendapatan mereka makin besar. Jika mengacu pada PDB, pendapatan semua rakyat akan ditotal dan dirata-rata, sehingga seolah-olah semua rakyat mengalami kenaikan pendapatan yang terindikasi dari naiknya konsumsi. 

Padahal, realitasnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara. Ketimpangan kian menganga, yang terindikasi dari naiknya rasio gini. Inilah dampak nyata penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Pada era modern ini, dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi, aspek-aspek seperti umur harapan hidup, angka kematian bayi, dan angka partisipasi sekolah dipandang lebih efektif untuk mengukur kesejahteraan. 

Alasan mengapa angka pertumbuhan ekonomi masih digunakan untuk menilai kesejahteraan adalah karena metode ini mudah dilakukan, tidak perlu sensus dan survei yang njlimet, cukup dengan hitungan matematika yang sederhana, sudah didapat angka pertumbuhan ekonomi.

Hal ini berbeda dengan penggunaan indikator kesejahteraan yang lain. 

Butuh sensus dari rumah ke rumah (termasuk ke para tunawisma), butuh survei yang teliti, kejujuran laporan, analisis yang tepat, dan lain-lain yang intinya butuh riayah (pengurusan) yang sungguh-sungguh oleh penguasa.

Sayangnya, visi riayah ini tidak ada dalam diri penguasa di sistem kapitalisme. Bagi mereka, jabatan bukanlah amanah dan tanggung jawab, melainkan sarana memperkaya diri pribadi, partai, dan kroni. 

Akibatnya, terjadi “kebohongan” melalui statistik. Angkanya benar, tapi penyajiannya tidak jujur akibat ada kepentingan politik di dalamnya, yaitu pencitraan untuk meraih dukungan publik.

Islam memiliki standar baku dalam mengukur tingkat kesejahteraan secara tepat, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok yakni sandang, pangan, dan papan secara makruf (layak). Proses pengukuran ini dilakukan secara terus-menerus, dengan aktivitas patroli oleh Khalifah. 

Dalam memantau rakyatnya, Khalifah mengacu pada data riil, bukan angka cantik di atas kertas, apalagi laporan ABS (Asal Bapak Senang).

Islam mewajibkan penguasa untuk memiliki visi riayah atas rakyatnya. Penguasa harus tulus ikhlas mengurus rakyatnya satu persatu, meski rakyatnya itu ada di sudut kampung, di tengah hutan, maupun di puncak gunung. 

Penguasa yang seperti ini benar-benar ada dalam Khilafah. Salah satunya adalah Khalifah Umar bin Khaththab ra. 

Suatu hari, Umar ra. sedang patroli melihat langsung kehidupan rakyatnya. Ia mengetuk sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang nenek tua. 

Dari percakapannya dengan nenek tersebut Umar menyadari kesalahannya yang telah abai mengurus kehidupannya selama ini. Umar sangat menyesal sampai meneteskan air mata. 

Umar sangat takut nenek itu akan menuntutnya di akhirat atas kezaliman yang telah dilakukannya. 

Dia pun berupaya menebus kesalahan itu dengan memberikan uang sebesar 25 dinar kepada nenek tersebut dan meminta maaf atas kelalainnya (Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah).

Demikianlah gambaran penguasa dalam sistem Islam. Saatnya kita hijrah dari sistem saat ini menuju sistem Islam yang menyejahterakan. Wallahu a’lam bisshawab.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini